"Nggak bisa, Dok, saya tuh ada ujian hari Jumat minggu depan. Saya harus belajar full!" ujarku sambil duduk di bench rooftop rumah sakit.
"Masih seminggu lebih, Sayang. Ayo lah, cuma satu hari kok. Kan kamu libur Sabtu dan Minggu." katanya, merayuku dari seberang sana. Aku yakin ia mengucapkannya dengan wajah datar dan tatapan yang mematikan.
Mulutnya yang manis itu membuatku memutar bola mata jengah. Agak terbuai sedikit, sih ... tapi aku harus kokoh pada pendirian ku.
"Nggak bisa, Dok! Saya, kan, udah diancam sama Dokter Mia lho ... kalau saya nggak do the best bisa-bisa beneran prolong atau ngulang stase," paparku.
"Saya janji akan bantu kamu belajar buat ujian. Saya memang bukan residen kulit, tapi saya tau gaya Mia saat menguji itu seperti apa. Bagaimana? Masa kamu mau melewatkan kesempatan emas ini? Jalan-jalan sama saya plus dapat kisi-kisi ujian setelahnya," jawab Dokter Talaga. "Boleh, ya? Jarang-jarang lho saya dapat libur. Kita pergi pagi, pulang sore. Ayolah ... saya mau pamerkan kamu pada teman-teman SMP saya. Mereka nggak tau riwayat hubungan percintaan saya, jadi kamu nggak perlu khawatir dapat stigma."
Aku mendengus. Sebenarnya ujian cuma jadi alasanku saja, hal yang membuatku menolak rencana Dokter Talaga di hari Minggu itu adalah agendanya; pergi ke Batu untuk menghadiri pernikahan koleganya. Berdua saja.
Kalau mengingat ciumannya tempo hari, aku yakin kalau pergi berdua saja keluar kota dengan Dokter Talaga adalah sesuatu yang berbahaya. Amat berbahaya.
"Jadi gimana?"
***
Dari kecil, aku bukanlah seorang anak yang menarik perhatian kemanapun aku pergi. Aku tak seperti Mahakam, kakakku yang galak dan tak takut pada apapun. Tak juga seperti Praya, adikku si baik hati yang luar biasa cerdas sampai-sampai membuat semua orang geleng-geleng kepala. Aku hanyalah aku. Anak paling normal di keluarga Kanigara.
Orang tuaku pernah bilang. Kalau membesarkan Mahakam dan Praya sangat membuat mereka cemas. Orang tuaku khawatir kalau Mahakam tak akan punya teman dan malah banyak musuh karena mulut pedasnya. Sementara Praya mengkhawatirkan karena terlalu baik meski otaknya cerdas, target empuk untuk dimanfaatkan. Sedangkan aku selalu dianggap sebagai anak yang lurus-lurus saja, tak berperilaku unik, dan tak butuh terlalu dikhawatirkan.
Sejak kecil, nilaiku standar. Selalu masuk lima besar tapi tidak terlalu istimewa juga. Tak butuh maintenance terlalu ketat. Aku bersikap sesuai usiaku, hampir tidak pernah buat masalah, dan bisa menjalani kehidupan dengan normal.
Itulah mengapa orang tuaku punya kepercayaan yang lebih terhadapku dibandingkan Mahakam dan Praya. Contoh mudahnya, Mahakam dan Praya baru bisa leluasa tanpa jam malam ketika kuliah. Sementara aku sudah mendapatkannya sejak SMA. Sepercaya itu kedua orang tuaku padaku.
The thing is ... aku tak yakin apakah aku bisa menjaga kepercayaan itu. Keputusanku untuk pergi ke Kota Batu hanya dengan Dokter Talaga membuatku ragu. Kalau Mama dan Papa tau aku pergi keluar kota berdua saja dengan laki-laki yang notabene adalah pacarku, bisa mati digantung terbalik di depan pintu aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...