15. The Trial of Moving On

9.3K 822 34
                                    

"Arrghhhh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Arrghhhh." Aku menahan nyeri sambil menutup mataku. Air mata kembali menetes. Entah sampai kapan proses menyakitkan ini akan terus berlangsung.

"Sudah, Dokter Muda Bengawan," kata Dokter Talaga. Ia berdiri dari tempat duduknya dan melepas sarung tangan yang menempel di tangannya.

Aku membuka mataku, menatap telunjuk tanganku yang kini terbalut kasa. Pantas saja orang-orang selalu menangis kalau sedang ekstraksi kuku, rupanya memang semenyakitkan itu.

Dokter Talaga lalu mengambil sesuatu dari dalam lacinya dan memberikannya padaku.

"Ini Paracetamol, minum kalau nyeri aja. Tau, kan, kamu?" jelasnya.

Aku mengangguk. "Terima kasih, Dok."

Ia kemudian cuci tangan dan mengambil selembar tisu dari atas meja kerjanya untuk mengeringkan tangannya itu. Beberapa detik kemudian, tangannya sudah beralih menyentuh pipiku, mengusap air mata yang masih mengalir di sana. Untuk sejenak, aku membeku. Dunia rasanya hening, hanya bisa mendengar suara detak jantungku.

"Sekarang kamu tau, kan, kalau ekstraksi kuku itu sakit?" ucap Dokter Talaga. "Lain waktu kalau kamu dapat pasien yang butuh ekstraksi kuku di IGD, saya harap kamu bisa bersikap gentle."

Matanya yang cokelat itu menatap langsung bola mataku. Seolah tersihir, denting waktu serasa melambat dan gerak Dokter Talaga tampak slow motion di mataku. Sampai akhirnya ia melepaskan tangannya dari pipiku, baru aku kembali ke akal sehatku.

"Kamu malam ini jaga malam?" tanya Dokter Talaga.

"E-enggak, Dok," jawabku terbata, masih terbawa suasana.

"Ya udah, nanti pulang sama saya aja," lanjutnya.

"Ng-nggak perlu, Dok! Saya bisa pulang sendiri," tolakku tegas. "Saya bawa motor kok."

"Dengan jari seperti itu?" sahutnya.

Aku melihat jariku sendiri sembari menyusun sejuta alasan untuk menolaknya sekali lagi.

"Saya nggak bisa biarin kamu pulang sendiri dengan keadaan tangan seperti itu, jadi saya tidak melakukan ini semua demi kamu, ini demi ketenangan saya sendiri," tandasnya.

Kalau sudah seperti itu, mau ditolak model bagaimana lagi?

***

Here it is ... aku terjebak dalam mobil Dokter Talaga. Berdua saja dengannya, ditemani suara radio yang dipilih acak dan rintik hujan yang mengetuk-ngetuk jendela.

Dari tadi kami saling diam, memilih sunyi dan bergelut dengan diri masing-masing. Aku bergelut dengan pikiranku yang kalang kabut. Not gonna lie, aku senang berada di sini saat ini. Tapi apakah ini adalah tindakan yang benar? Rasanya tidak. This is just wrong on so many level. Aku tak seharusnya diantar pulang oleh tunangan perempuan lain, terlebih lagi ... aku menyukainya. Untungnya, foto antara Dokter Talaga dan Dokter Mia--tunangannya--masih tergantung di dashboard mobil. Seolah menjadi pengingat bahwa aku sama sekali tak punya tempat.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang