Bengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit.
Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana:
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Manusia dan perasaannya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Perasaan berperan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, bahkan seringkali mempengaruhi keputusan manusia tersebut. Sayangnya perasaan bukanlah pengambil keputusan yang baik. Perasaan itu sifatnya dinamis, bahkan bisa dikatakan terlalu dinamis. Mudah digoyahkan. Itulah mengapa aku yakin bahwa keputusan yang diambil berdasarkan perasaan adalah keputusan yang paling buruk.
Namun aku juga manusia. Sekeras apapun aku mencoba bersikap logis, nyatanya perasaan masih seringkali ambil alih.
Seperti bagaimana aku memutuskan untuk menghampiri Dokter Talaga karena perasaan ibaku. Keputusan yang kini membuatku dibenci oleh Dokter Suvi itu adalah sebuah contoh yang baik mengapa manusia tak boleh mengambil keputusan berdasarkan perasaannya semata.
Kini aku berdiri di depan indekos Sagara Brajamusti--sahabat yang sudah mencampakkanku itu--sambil membawa proposal acara bakti sosial. Persis seperti seseorang yang mau minta donasi.
Kalau bukan karena takut Dokter Suvi semakin membenciku, aku tak mungkin kemari. Setelah pertemanan kami berakhir hari itu, mana sudi aku menemuinya lagi?
Sayangnya aku butuh volunteer. Setelah teman-teman dari Sherly, Malika, Betharia, Sugeng, dan Gustri bergabung, masih kurang dua orang lagi. Sudah jelas dua orang itu harus aku cari. Itulah mengapa aku di sini, berusaha melakukan persuasi pada Sagara agar ia mau bergabung dan bahkan membawa satu temannya yang lain.
Setidaknya sudah sepuluh menit aku menunggu di sini. Berdiri di bawah pohon sembari menghindari sinar matahari Surabaya yang lebih jahat dari ibu tiri. Aku sudah menghubunginya dan sangat yakin ia ada di rumah karena mobilnya tampak terparkir di pekarangan.
Sagara akhirnya keluar dari indekosnya. Ia memakai kaus biru dan celana pendek warna abu-abu.
"Hai," sapanya. Amat canggung.
"Sorry ganggu waktu istirahat lo," kataku. Nadaku kaku, seperti orang marah. Mungkin benar, aku mungkin masih marah. Mungkin masih ada sisa-sisa kemarahan dalam dadaku.
Sagara? Entahlah, aku tak tau perasaannya. Tapi wajahnya sedari tadi kelabu, ia juga banyak menatap ke tanah. Seolah tak berani menatap mataku. Atau mungkin tak mau.
"Tenang, gue kesini bukan mau nyatain perasaan ke lo ataupun mohon-mohon biar lo jadi temen gue lagi kok," sindirku. "Gue cuma mau minta tolong supaya lo mau jadi volunteer acara Departemen Obgyn. Kita butuh 10 orang buat jadi volunteer dan masih kurang 2 orang, kalau lo bisa bawa temen lo lebih bagus lagi."
Aku mengulurkan proposal yang sedari tadi kubawa kepadanya. "Detail acaranya ada di sini. Pertimbangin dulu aja, kasih tau gue paling lambat sore ini soal keputusan lo. Gue berharap lo bersedia karena ini bakal jadi permintaan terakhir gue ke elo. Setelah ini gue janji gak akan ganggu lo lagi selamanya."
***
Rahangku rasanya hampir jatuh ke tanah ketika melihat Sagara datang dengan Anastasia pagi ini. I mean ... aku tentu saja bersyukur karena Sagara benar-benar datang untuk jadi volunteer sesuai permintaanku, bawa satu orang lagi pula. Masalahnya Anastasia bukan koas, ia masih mahasiswa pre-klinik. Tidak sesuai dengan syarat yang Dokter Suvi inginkan.