8. Opini

9.4K 907 14
                                    

Dokter Ari bilang Dokter Talaga selalu lupa makan kalau sedang stres soal sesuatu, terutama tentang adiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dokter Ari bilang Dokter Talaga selalu lupa makan kalau sedang stres soal sesuatu, terutama tentang adiknya. Itulah mengapa ia memintaku untuk memastikan bahwa makanan yang dibelinya untuk Dokter Talaga benar-benar dimakan.

Namun tentu saja mengawasi orang makan bukanlah hal yang menyenangkan. Rasanya awkward, ingin semuanya segera berakhir. Untungnya rooftop ini terlalu luas untuk kami berdua. Aku bisa mengalihkan pandanganku kemana-mana, tak hanya pada Dokter Talaga yang sedang menyantap nasi goreng seafood-nya.

Beda dari aku yang merasa canggung dari ujung kaki sampai ujung rambut, Dokter Talaga malah tampak santai. Ia sama sekali tidak kelihatan merasa terganggu.

"Apa saja yang kamu dengar?" tembak Dokter Talaga.

Deg! Mati aku!

Bibirku rasanya beku, terkunci rapat dan sulit untuk dipakai bicara. Aku bingung harus menjawab bagaimana.

Aku hanya meringis.

"Maaf, Dok."

Dokter Talaga hanya diam. Membuat aku makin tak enak hati. Kemudian kesenyapan meliputi kami berdua.

Jujur saja, aku sama sekali tak terganggu dengan kesenyapan ini. Awalnya memang canggung, tapi lama-lama aku terbiasa. Tak lagi jadi masalah. Hanya satu hal yang menggangguku, yaitu soal perdebatan Dokter Talaga dan adiknya. Perdebatan yang sebenarnya tidak aku paham akar masalahnya, tapi somehow bisa kurasakan.

"Dok," panggilku.

"Ya?"

"Saya boleh beropini?" tanyaku hati-hati. "Tentang ... perdebatan Dokter dan adik Dokter."

Dokter Talaga menatapku sejenak, seolah memikirkan berbagai pertimbangan di kepalanya sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Silakan."

"Saya nggak tau pasti masalahnya apa, tapi saya tau Dokter pasti kesal," ucapku. "Tapi, Dok, Dokter juga harus ingat kalau adik Dokter juga sama kesalnya."

"Maksud kamu?" tanya Dokter Talaga. Air mukanya datar, setidaknya aku bersyukur karena ia tidak menunjukkan tanda-tanda marah.

"Dokter memang kesal, tapi adik Dokter pasti jauh lebih kesal. Kenapa? Karena dia habis kena musibah sampai patah tulang, yang tentunya tidak dia harapkan. Lalu ditambah lagi kena marah kakaknya sendiri," paparku. "Saya anak tengah yang punya satu kakak, Dok. Saya tau persis perasaan adik Dokter."

"Dokter harus mencoba memahami, Dok," lanjutku.

"Memahami?"

"Dokter harus coba memahami pakai sudut pandang adik Dokter, Dok. Berbeda. Tempatkan Dokter di posisi dia, mungkin membantu," ucapku. "Sebenarnya seorang adik itu nggak pengin punya kakak yang neko-neko kok, Dok. Seorang adik itu pengin punya kakak yang bisa jadi temannya."

Aku tak sedang bicara omong kosong. Pasalnya aku memang punya seorang kakak. Dan masalah yang dihadapi kakak beradik tidak jauh-jauh dari perkara peran dan kedudukan.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang