"Kamu sudah pernah hecting belum?" tanya Dokter Mia sambil melepaskan handscoon dari tangannya. Pasien terakhir baru saja keluar dari poli.
Hecting atau menjahit luka adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Biasanya ultimately dipelajari waktu stase Bedah.
"Pernah, Dok. Beberapa kali waktu obgyn, diajari bidan."
Ia kemudian mencuci tangan. Suaranya yang lembut itu beradu dengan suara air yang keluar dari keran.
"Ya sudah, kalau begitu besok kamu presentasi dan demonstrasi hecting di depan saya dan teman-teman kamu ya, nanti saya kasih feedback."
Belum sempat aku membuka mulutku, Dokter Mia menambahkan, "Kamu maju tugas journal reading sama Profesor Hani, kan?"
Aku mengangguk. "Benar, Dok."
"Tugas yang majunya sama Profesor Hani biasanya dititipkan ke saya, jadi majunya sama saya. Kalau gitu, besok aja sekalian majunya, ya?"
Aku terdiam. Rasanya seperti sedang disambar petir berkali-kali.
"B-besok juga, Dok?"
"Iya. Bisa, kan? UKK 100 biji tempo hari aja kamu bisa, kan? Journal reading malah nggak terlalu susah," ucapnya. "Oh jangan lupa, presentasi journal reading-nya in English ya."
Demi Tuhan, aku ingin menangis.
***
Dalam bayanganku, having a partner berarti punya seseorang yang stand by dan siap sedia 24/7. Siap membantuku kalau aku terjebak masalah, siap dihubungi kapan saja kalau aku emotionally drained, siap aku ajak mengunjungi tempat-tempat bagus yang cocok untuk foto-foto cantik, siap antar jemput kemana-mana, pokoknya siap sedia. Setelah aku akhirnya punya pacar, aku sadar bahwa tak begitu kenyataannya.
Aku melupakan satu hal mengenai pasangan ... bahwa mereka juga cuma manusia. Manusia yang punya kesibukan dan tanggung jawab masing-masing. Begitulah Dokter Talaga.
Menjadi pasangan Dokter Talaga membuatku tertampar kenyataan, bahwa dunia tak berputar mengelilingiku. Dokter Talaga yang super sibuk itu tak bisa ketemui setiap hari, beda ketika aku masih di stase Obgyn waktu itu. Bahkan dalam satu minggu, belum tentu aku bisa melihatnya sekali. Komunikasi juga tidak se-intens itu. Dokter Talaga bukan tipe-tipe manusia yang mengucapkan rangkaian selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam secara komplit. Bukan juga tipe manusia yang meng-update kegiatannya selama 24 jam penuh padaku. Tapi setidaknya ia selalu berusaha menghubungiku sekali sehari, entah sekadar menyemangati kegiatan koas ku, atau kadang mengeluh soal kegiatan residennya. Akibat perbedaan jadwal, kadang bisa juga aku menghubunginya pagi dan baru dibalas pada malam hari. Begitu pula sebaliknya.
Don't get me wrong, aku tidak masalah dengan ritme hubungan yang seperti ini. Aku paham bahwa kami punya kesibukan dan tanggung jawab masing-masing. Aku dan Talaga sama-sama orang dewasa, bukan lagi anak SMA yang punya banyak waktu luang. Hanya saja, kadang-kadang ketika aku sedang ada pada titik dimana emosiku sulit dikontrol dan aku ingin menangis, aku ingin sekali ia bisa menghubunginya detik itu juga. Seperti hari ini contohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...