Dalam psikiatri--ilmu kedokteran jiwa--ada yang dikenal sebagai defense mechanism. Defense mechanism sendiri adalah cara manusia untuk bertahan dari suatu stress yang menimpanya. Atau lebih sederhananya, cara jiwa manusia dalam menanggapi suatu masalah.
Ada berbagai jenis defense mechanism. Aku tak terlalu memahami bagaimana defense mechanism-ku sendiri. Akan tetapi ketika menghadapi masalah berat yang membuatku terlalu stres, biasanya aku sakit fisik.
Aku masih ingat ketika Omelette--ayam warna-warni peliharaanku saat masih SD--meninggal dunia, aku langsung demam tinggi keesokan harinya. Atau misalnya ketika uang tabunganku--yang kusimpan di bawah kasur waktu SMP--habis dimakan rayap, besoknya aku diare sampai tak bisa bangkit dari tempat tidur akibat dehidrasi. Dan masih banyak lagi.
Namun penyakit hanya muncul ketika masalah yang kuhadapi benar-benar terasa berat. Kalau masalahnya biasa saja, tubuhku masih bisa menanggungnya.
Kali ini aku mendadak demam tinggi, batuk, dan pilek bersamaan. Entah karena efek kehujanan dan kedinginan kemarin atau karena ucapan Dokter Talaga, aku sendiri tak tau. Masalahnya, sakit sambil koas adalah hal yang memusingkan. Kenapa? Karena tubuh butuh istirahat tapi nyatanya dunia tak memberikan kesempatan.
Aku datang ke rumah sakit dengan kepala berdenyut dan hidung tersumbat. Suhu tubuhku juga mencapai 38,9 derajat Celcius. Cukup untuk membuat seseorang meringkuk saja di kasur. Namun sekali lagi, aku koas. Bahkan kalau ada kiamat sekalipun, aku harus tetap stand by di rumah sakit.
"Wan, kamu gak apa-apa? Mukamu merah banget lho! Kamu demam ya?" tanya Betharia begitu ia sampai di ruang koas.
"Dikit," ucapku.
Betharia lalu meraba-raba dahiku dan segera menyadari kalau aku jauh dari kata baik-baik saja.
"Udah minum obat belum?" tanyanya.
"Udah, Beth, i'm fine. Jangan khawatir."
"Gimana ga khawatir? Badanmu lho udah sepanas api neraka!" ujarnya.
"Emang kamu pernah pegang api neraka?" sahutku.
"Ya engga sih, hehe. Amit-amit!" serunya sambil meringis. "Kamu hari ini jaga dimana, Wan?"
"Di poli, Beth," jawabku.
"Aku hari ini bangsal. Kita tuker aja, ya, Wan? Daripada kamu berdiri terus di poli, mending kamu di sini, kalau gak ada yang gawat kan kamu bisa istirahat. Nanti aku bilang temen-temen juga biar bisa back up," tutur Betharia.
Aku tidak akan munafik dan pura-pura menolak. Pasalnya keadaanku memang tidak baik-baik saja. Niat Betharia segera kuterima dengan anggukan.
"Makasih, ya, Beth."
***
Tuhan tidak akan pernah menguji makhluk-Nya melebihi kemampuan, begitulah kata orang-orang. Sepertinya benar, karena selama empat jam aku menjaga bangsal ini, keadaan aman terkendali. Tuhan seolah sedang mengasihani aku yang sedang sakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...