24. Scenarios in My Head

9.1K 794 54
                                    

"Cheers!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cheers!"

Semua orang mengangkat gelas berisi sodanya tinggi-tinggi. Semuanya tampak lepas dari beban.

Asap mengepul dan bunyi khas daging yang dipanggang di atas mentega memenuhi ruangan. Ini adalah pesta penutupan bagi panitia simposium dan bakti sosial sekaligus pelepasan kecil-kecilan untuk kami para koas yang akan pindah ke stase lain.

"Kalian dapat stase mana aja?" tanya Dokter Ari.

"Kami ini satu paket, Dok. Jadi kami sama-sama ke stase kulit habis ini, Dok," jawab Sherly.

"Stase kulit di RS ini?" tanya Dokter Ari.

"Iya, Dok."

"Oh ... sama Mia dong ya?" sahut Dokter Ari.

Mendengar nama Dokter Mia disebutkan membuatku menelan ludah. Selama 4 Minggu kedepan, aku akan terus bertemu dengannya. Lagi dan lagi. Sebagai koas dan residen yang akan terhubung secara profesional. Lalu selama 4 Minggu itu aku pasti akan terus dihantui rasa bersalah. Mungkin ini yang namanya azab instan dari Yang Maha Kuasa.

Aku melirik Dokter Talaga. Ia tampak santai seperti biasanya. Wajahnya yang dipasangi ekspresi kaku itu tampak tak terbebani apa-apa. Setelah percakapan kami tempo hari, aku belum mendengar kabar lagi darinya. Aku tak tau apakah ia sudah bicara dengan Dokter Mia. Aku memutuskan untuk tak menghubunginya. Tidak sampai semuanya jelas adanya.

"Semuanya makan yang banyak ya! Jangan khawatir, ini semua pakai uang Profesor Edi!" ujar Dokter Suvi.

"Serius, Dok?" tanya Malika.

"Serius, lah!"

Kami kemudian bersorak gembira. Memang tak ada yang lebih menggembirakan bagi koas--terutama anak kos--selain makan gratis.

Semua orang pada akhirnya makan dengan lahap. Namun aku kehilangan selera makanku. Melihat Dokter Talaga hari ini membuatku amat gelisah. Rasanya seperti aku butuh kejelasan, agar tak perlu terus menerus terombang-ambing dalam laut tak bertuan.

***

Dokter Talaga selalu punya aroma khas, jeruk Mandarin. Aroma itulah yang menyapaku pertama kali begitu memasuki mobil ini. Sementara si pemilik mobil sedang berputar, berpindah dari sisi pintu mobil tempatku duduk sehabis menutupnya menuju ke pintu mobil tempat pengemudi dan duduk di sana. Seusai memasang seatbelt miliknya, ia mulai berkendara.

"Kamu cantik malam ini, Dokter Muda Bengawan," katanya.

Darahku berdesir cepat, membuat pipiku terasa memanas.

"Apaan, sih, Dok!" protesku. Tapi diam-diam aku menyukai pujiannya yang diucapkan dengan muka datar itu.

"Saya, tuh, mau diantarin pulang Dokter begini bukan karena mau ngomongin hal nggak penting begitu!" ujarku.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang