They called it as ... double standard. Mudahnya, double standard adalah perlakuan yang berbeda terhadap dua orang dalam situasi yang sama. Ini adalah istilah yang pas untuk situasi yang sedang terjadi antara aku, Dokter Talaga, dan semua orang yang menilai kami.
Aku sangat paham bahwa menyukai seseorang yang sudah punya pasangan adalah kesalahan besar. Akan tetapi kalau dipikir-pikir lagi, apa yang membuatku pantas dibenci seperti ini baik oleh Sagara maupun Dokter Suvi? Mereka bahkan tak tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya, mereka juga tak tau bagaimana upayaku menghindari Dokter Talaga selama ini. Mereka tak pernah bertanya, tapi semudah itu menghakimi.
Satu poin yang amat membuatku marah adalah karena Dokter Talaga tak terkena efek apa-apa. Baik Sagara maupun Dokter Suvi, keduanya hanya menghakimiku tapi tidak Dokter Talaga. Tak ada yang mengatakan apapun Dokter Talaga, sementara aku harus menghadapi kata-kata yang menyakitkan hati. Padahal kalau dikupas lebih lanjut, Dokter Talaga lah yang berperan besar dalam perasaan terlarang ini.
Namun aku sadar bahwa memang beginilah masyarakat nyata. Mungkin karena aku perempuan yang katanya manusia kelas dua dibandingkan laki-laki, atau mungkin karena aku cuma koas yang tak punya power apa-apa. Orang-orang jelas akan lebih condong menyalahkan aku. Berpikir bahwa aku mungkin merayunya gila-gilaan.
Situasi ini membuatku ingin menangis di kamar kos seharian. Sayangnya hari ini adalah hari-H bakti sosial, tak ada ruang untuk meratap. Aku harus baik-baik saja.
Ada banyak rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan hari ini. Ada penyuluhan dan yoga ibu hamil, pap smear gratis, pemeriksaan antenatal, pemeriksaan kesehatan non kehamilan, imunisasi, juga ada home visit untuk pasien-pasien yang tak bisa hadir di balai desa. Semua kegiatan ini akan diisi oleh dokter spesialis, residen, dan dibantu oleh para volunteer.
"Bengawan, ternyata ada beberapa bagian yang butuh volunteer koas lebih dari satu, jadi jumlah volunteer koas kita kurang. Nah aku mikir kayanya kita beberapa dari panitia aja deh yang ngisi kekosongan itu. Jadi aku tugasin kamu untuk bantu home visit ya. Langsung aja ketemu residen yang home visit, Dokter Mia dari Departemen Kulit," papar Sherly.
Deg! Jantungku rasanya berhenti berdetak. Ini ada apa dengan semesta sebenarnya? Tidak cukup membuatku dibenci sana-sini, kini aku harus berhadapan langsung dengan Dokter Mia? Gila!
"Oke, Sher. Kalau gitu aku langsung cabut ya, nanti volunteer koasnya jangan lupa di-briefing," sahutku.
Aku kemudian pergi mencari Dokter Mia di antara lalu lalang orang-orang yang sedang mempersiapkan balai desa sebelum acara dimulai.
Sepertinya home visit bukanlah ide yang buruk karena artinya aku bisa menghindari semua orang yang ingin aku hindari; Dokter Talaga, Dokter Suvi, dan Sagara. Aku bisa punya waktu untuk diriku sendiri.
Dokter Mia ada di dalam balai desa, sedang memasukkan beberapa alat ke dalam tas ransel warna abu-abu. Ia tampak cantik dan rapi dengan celana kain warna hitam dan blus satin warna gading.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...