Perasaanku pada Sagara bisa dibilang sebagai sesuatu yang timbul karena kebiasaan. Iya, kebiasaan; biasa dengan kehadiran Sagara, biasa menghabiskan waktu dengan Sagara, dan biasa melibatkan Sagara dalam setiap agenda kecil hidupku selama nyaris 4 tahun terakhir.
Kebiasaan mendatangkan kenyamanan. Dan kenyamanan dapat berarti dua hal; pertama, kenyamanan membuat seseorang sadar mengenai apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan. Contohnya aku yang jadi paham bahwa Sagara lah manusia yang ingin aku libatkan dalam hidupku selama masih berpijak di bumi ini.
Kedua, kenyamanan malah membuat sesuatu tak begitu bermakna. Begitu lah gambaran aku di mata Sagara, tak bermakna apa-apa selain teman dekatnya.
Aku satu juta persen yakin bahwa Sagara sama sekali tak pernah menyukaiku. Dalam kata lain, perasaanku mungkin bertepuk sebelah tangan. Aku sendiri yang menyukainya. Aku tau itu.
Anehnya meski memahami fakta itu, kata-kata Dokter Talaga terus terngiang di telingaku; "Tentang teman kamu ... teman yang kamu suka itu ... kamu mau apa?"
Pertanyaan itu membuat aku bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau aku mengungkapkan perasaanku pada Sagara. Pernyataan itu pula yang membuat aku menerka-nerka seperti apakah respon Sagara. Walaupun sudah jelas sebenarnya bahwa Sagara pasti menolak perasaanku. That's what people call as curiosity.
Jangankan menyatakan perasaanku, aku bahkan sudah tak bertegur sapa dengan Sagara setidaknya satu pekan. Semenjak ia lupa pada janji mengenai nonton di bioskop waktu itu, aku menjauhinya. Aku bukan benar-benar ingin menjauh, hanya ingin menunjukkan bahwa aku marah. Chat dan telepon Sagara tidak aku gubris, tiap nyaris berpapasan di rumah sakit juga pasti aku menghindar. Pokoknya jurus-jurus klasik dalam menghindari orang lain.
Namun sepertinya sia-sia. Sagara bukan orang yang peka pada kode. Menangkap kode dari pacarnya saja tidak bisa, apalagi dari aku?
Lihat saja betapa bahagianya ia cekikikan di meja seberang sana bersama teman-teman satu stasenya. Untung saja kami masih terpaut 3 meja. Kalau Sagara benar-benar tepat di depanku, mungkin aku sudah nekat menjambak rambutnya sebagai ekspresi kesal karena ia tak paham bahwa aku marah.
"Kamu berantem, ya, sama Sagara?" tanya Betharia. Biasa, manusia yang satu ini memang selalu kepo dan berusaha mencari informasi dalam segala kesempatan.
"Enggak," elakku.
Betharia menatapku curiga. Ia bahkan sampai berhenti menyeruput mi ayam yang ada di mangkoknya.
"Idih! Bohong banget!" ujarnya.
Kalau tau akan bertemu Sagara dan diinterogasi oleh Betharia begini, mungkin aku pilih stay di bangsal dan kelaparan sampai jam pulang.
"Kenapa? Kamu gondok karena Sagara ndak kunjung peka sama perasaanmu?" lanjut Betharia.
Aku terkesiap oleh perkataannya barusan. Sedikit panik, lebih tepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...