13. Drawing The Line

8.7K 803 51
                                    

Aku sama sekali tidak seperti Kak Maha--kakak perempuanku--yang masih memegang nilai-nilai konvensional

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sama sekali tidak seperti Kak Maha--kakak perempuanku--yang masih memegang nilai-nilai konvensional. Aku cukup terbuka, terutama soal intimasi antara laki-laki dan perempuan.

Aku bukan first timer yang belum pernah mencium laki-laki sebelumnya. Ciuman pertamaku kulakukan dengan Juan Manuel, laki-laki yang aku pacari saat SMA selama 1 bulan dan putus karena perbedaan agama. Lalu aku juga beberapa kali mencium mantan-mantanku yang lainnya.

Hanya saja, belum pernah ada ciuman yang membuatku salah tingkah sampai melarikan diri seperti pengecut. Iya, itulah aku. Berani membalas ciuman Dokter Talaga tapi berlari terbirit-birit menembus hujan setelahnya.

Aku pulang naik taksi pertama yang aku lihat di jalan raya itu dan berakhir menghabiskan 150 ribu untuk jarak yang tidak seberapa. Dan ... di sinilah aku. Merenungi apa yang terjadi sebelumnya sehabis mandi di atas kasur kamar kos-ku dengan perasaan berdebar tak menentu.

Tak bisa kupungkiri ... aku agaknya cukup senang. Tapi di satu sisi, aku sadar ada yang salah dari tindakan kami malam ini. Suatu kesalahan yang membawaku tenggelam dalam firasat buruk tak berkesudahan.

Tring! Sebuah pesan masuk ke ponselku.

Dokter Talaga:
Maafkan saya.

***

Tau apa yang paling menyebalkan di muka bumi ini? Orang yang bisa berpura-pura tak terjadi apa-apa setelah suatu tragedi besar.

Begitulah Dokter Talaga. Ia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa di antara kami sebelumnya. Ia bicara padaku seperti biasa. Bahkan tak sama sekali mengungkit apa yang terjadi sebenarnya.

Aku sendiri tidak tau apa yang kuinginkan. Namun membaca pesan permintaan maaf Dokter Talaga semalam membuatku merasa semakin buruk.

Entahlah ... hanya saja aku merasa bahwa apa yang kami perbuat di bawah langit Surabaya malam kemarin adalah sebuah kesalahan besar. Dan tindakan Dokter Talaga yang meminta maaf menunjukkan bahwa ia seakan-akan ingin melarikan diri dari kesalahan ini.

Semesta juga seolah tidak berpihak padaku. Di saat sedang kesal-kesalnya begini, aku malah harus seharian berhadapan dengan Dokter Talaga sebagai asistennya di Poli.

"Metronidazole 3 kali 500 miligram," ucap Dokter Talaga mendiktekan obat yang akan aku ketikkan ke dalam rekam medis digital yang ada di komputer.

"Nanti saya kasih antibiotik ya, Bu. Diminum sampai habis. Bisa jadi ada efek mual, muntah, dan seperti rasa besi di lidah ya, Bu. Ibu bisa cegah dengan makan yang cukup sebelum minum obat. Nanti kontrol setelah obatnya habis, ya, Bu. Ada yang mau ditanyakan?" Dokter Talaga mengedukasi pasien.

Pasien menggeleng.

"Baik, kalau begitu sampai ketemu lagi nanti ya, Bu."

Kemudian pasien yang kebetulan adalah pasien terakhir itu pergi meninggalkan ruangan. Sisa aku dan Dokter Talaga di sini. Ruangan hening untuk beberapa waktu. It's killing me, for sure.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang