4. Percakapan yang Seharusnya Tidak Didengar

3.3K 318 8
                                    

Praya--adik laki-lakiku yang kecanduan ilmu pengetahuan--pernah bilang kalau ada 3 syarat untuk bisa disebut sebagai iri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Praya--adik laki-lakiku yang kecanduan ilmu pengetahuan--pernah bilang kalau ada 3 syarat untuk bisa disebut sebagai iri.

Syarat pertama, manusia harus dihadapkan dengan orang lain dengan sesuatu yang tidak ia miliki. Kedua, kepemilikan orang lain itu ia inginkan untuk dirinya. Ketiga, harus ada rasa sakit yang timbul akibatnya. Aku sepenuhnya sadar bahwa aku memenuhi ketiga persyaratan tersebut untuk saat ini.

Aku dihadapkan dengan Gustri yang jadi asisten operasi Dokter Talaga seharian ini. Padahal aku lah yang mengobservasi pasien-pasien itu semalaman waktu jaga malam. Syarat pertama terpenuhi.

Kedua, ikut masuk ke dalam ruang operasi dan menyaksikan prosedurnya adalah sesuatu yang sangat kuinginkan untuk saat ini. Dan yang ketiga, melihat Gustri dapat kesempatan sementara aku tidak jelas menimbulkan rasa sakit di hati. Kesimpulannya? Aku iri.

Gara-gara iri, suasana hatiku jadi berantakan. Ditambah lagi kenyataan bahwa aku hanya tidur selama satu jam--itupun terpotong-potong--semalam karena banyak pasien IGD dan ibu bed 3 yang lahiran tengah malam. Pokoknya perasaanku makin tak karuan.

Satu-satunya hal yang masih bisa kusyukuri adalah fakta bahwa Sherly cukup baik membelikan aku sebungkus nasi kuning untuk sarapan. Ya, walaupun pada akhirnya nasi kuning itu tak sempat kumakan sampai pukul 10 karena pasien terus berdatangan.

Setelah keadaan cukup terkendali, aku menitipkan bangsal pada teman-teman. Aku sendiri melarikan diri sejenak ke rooftop. Bukan, aku bukannya berniat kabur dari tanggung jawab. Tapi setelah 33 jam non stop menunaikan tanggung jawab sebagai koas, it's okay if i take some rest, right? Perutku juga butuh diberi makan.

Aku baru selesai menyuapkan sendok ketiga nasi kuning ke dalam mulutku saat smartphone-ku tiba-tiba bergetar. Nama Mama tertera di atasnya, ia meneleponku.

"Halo?" ucapku.

"Halo, Anak Mama! Gimana, nih, jaga malam pertamanya?" tanya Mama di seberang sana dengan suara yang penuh gegap gempita.

Hangatnya suara Mama membuat batinku semakin bergejolak. Seolah membangkitkan semua kesedihan dan amarah yang terpendam selama tiga hari koas di Departemen Obstetri dan Ginekologi yang terasa seperti living hell ini.

"Wan? Kok diem? Terlalu excited sampai bingung mau cerita dari mana, ya?"

Aku ingin menjawab Mama, namun tak ada satupun kata yang bisa keluar dari mulutku. Sebaliknya, aku malah menangis.

"Lho? Kok nangis? Kenapa, Wan? Ada yang gangguin kamu?" Mama terdengar khawatir.

"Benga-hiks-wan ca-hiks-pek, Ma!" ucapku patah-patah, beradu dengan isakan yang tak mau kalah. "Se-hiks-mua o-hiks-rang benci Be-hiks-ngawan!"

"Siapa? Siapa yang benci kamu?"

"Ada," kataku. Aku mencoba menenangkan diri terlebih dulu. Berbicara sambil menangis adalah hal yang terasa sangat menyakitkan.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang