Betharia pasti jejeritan iri kalau tau aku sedang ada di mobil Dokter Talaga saat ini. Ada beberapa alasan mengapa aku akhirnya--terpaksa--setuju dan duduk di kursi mobil residen Obgyn yang satu ini.
Pertama, aku sudah menolak tapi Dokter Talaga malah bilang, "Saya nggak nanya, saya ngasih informasi." Sebagai koas yang tak lebih berharga dari tungau debu rumah, rasanya tak enak menolak berkali-kali. Kedua, hujan memang deras sekali. Rasanya tak mungkin berakhir satu atau dua jam. Tipe-tipe hujan yang akan awet sampai malam nanti. Ketiga, alasan yang paling besar; sepertinya aku tersihir. Tersihir garis-garis tegas wajahnya itu.
Ya, aku akui, i'm guilty. Bisa-bisanya aku luluh cuma karena mukanya yang tampan itu. Eits, jangan salah! Aku bukan tipe-tipe manusia yang mudah memaafkan orang lain cuma gara-gara visual surgawi. Aku sama sekali nggak begitu. Aku cuma penasaran.
Bukan apa, hanya saja aku merasa wajah dan karakter Dokter Talaga itu sangat match. Sama-sama dingin. Orang-orang yang aku kenal jarang punya wajah dan karakter match begitu. Biasanya kalau wajahnya jahat, karakternya malah super bubbly. Kalau punya wajah yang kelihatannya lugu, malah yang paling gila. Pokoknya tidak se-match Dokter Talaga ini.
Wajah Dokter Talaga itu tampak ... antagonis? Entahlah. Pokoknya ia punya garis rahang yang tajam, hidung yang mancung, alis hitam tebal, dan mata yang juga kelihatan tajam. Pokoknya tampak super fierce. Kalau jadi aktor drama Korea, Dokter Talaga akan sangat cocok memerankan tokoh malaikat maut, sekelas Lee Dong Wook atau Lee Soo Hyuk gitu.
Suasana di dalam mobil dari tadi sunyi, hanya ada samar-samar suara radio yang menengahi keheningan antara aku dan Dokter Talaga. Aku tak tau harus bicara apa, sementara Dokter Talaga fokus menyetir dan tampaknya sama sekali tak terganggu dengan kecanggungan yang aku rasakan sendiri. Bahkan untuk menutupi canggungku, aku berpura-pura melihat seisi mobil Dokter Talaga. Ya, walaupun tak banyak yang bisa dilihat. Paling hanya foto Dokter Talaga dengan seorang perempuan cantik--aku yakin itu tunangannya--yang terletak di atas dashboard mobil.
"Kamu alergi ayam?" tanya Dokter Talaga. Random seolah pertanyaan itu muncul dari semesta lain.
"E-enggak, Dok. Kenapa, ya?"
"Saya lapar," katanya.
Tanpa banyak bicara, Dokter Talaga langsung membelokkan kemudinya ke kanan. Kami berhenti tepat di depan restoran Ayam Goreng President.
Dokter Talaga memasang kembali maskernya kemudian turun dari mobil. Meninggalkan aku sendiri yang masih bingung harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut turun? Atau bagaimana?
Klek! Dokter Talaga kembali membuka pintu mobilnya. Ia menunduk sampai wajahnya bisa kulihat.
"Kamu nggak turun nungguin apa?" tanyanya dingin.
"I-iya, Dok. Saya segera turun."
Aku buru-buru melepas seat belt kemudian turun menyusul Dokter Talaga yang kini sudah masuk ke dalam restoran. Begitulah orang tinggi, langkah kakinya lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...