18. Hukuman

3.1K 332 27
                                    

Ternyata Mama benar, orang yang paling diam dan tampak baik-baik saja adalah orang yang sebenarnya paling menderita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ternyata Mama benar, orang yang paling diam dan tampak baik-baik saja adalah orang yang sebenarnya paling menderita. Begitulah Dokter Talaga. Di balik tampangnya yang datar dan dingin seolah tak terusik oleh apapun itu, ia menyimpan segudang duka.

"Maafkan saya karena merepotkan kamu, kamu harus melihat saya menangis begini," ucap Dokter Talaga ketika perasaannya sudah jauh lebih tenang. Ia tak lagi terisak, namun matanya tampak sangat bengkak. "Ini pertama kalinya saya menangis di depan orang lain."

"Nggak apa-apa, Dok. Dokter juga pernah nemenin saya waktu saya nangis habis ditampar keluarga pasien. Ingat nggak, Dok?" sahutku. "Waktu itu Dokter bilang kalau menangis itu fisiologis, jadi nggak ada yang salah dengan menangis."

Dokter Talaga menghela napas panjang. "Saya selalu merasa kalau saya tidak pantas menangisi ibu saya. Saya jarang ada waktu untuknya, bahkan untuk sekadar berbicara atau menyuapi ibu saya. Lagipula saya ini anak pertama, kalau saya saja hancur, bagaimana adik-adik saya?"

Mungkin inilah yang orang sebut sebagai kutukan anak pertama. Semua orang menaruh ekspektasi berlebihan pada anak pertama, bahkan dirinya sendiri.

"Dok, pernah dengar nggak kalau orang meninggal katanya akan di sisi kita yang masih hidup untuk beberapa waktu sebelum pindah ke alam baka?" tanyaku.

Dokter Talaga mengangguk.

"Ibunya Dokter pasti bangga sama Dokter, percaya deh!" kataku. "Anaknya bermanfaat untuk orang lain, juga berusaha jadi penopang untuk keluarganya. Kurang keren apa? Saya yakin ibu Dokter tidak ingin anaknya menyalahkan diri sendiri."

Dokter Talaga tersenyum getir. "Semoga."

Ia kemudian menoleh, menatapku dengan matanya yang jernih itu. "Terima kasih, Dokter Muda Bengawan. Saya bisa menunjukkan sisi saya yang seperti ini pada kamu dan kamu tidak menghakimi saya. Terima kasih."

"Ya udah, Dok, sekarang Dokter istirahat aja, Dok. Kalau ada pasien, saya yang handle nanti," kataku.

Aku lalu nyaris bangkit dari posisiku, namun Dokter Talaga meraih pergelangan tanganku.

"Saya mohon ... temani saya, Dokter Muda Bengawan. Saya sedang tidak ingin sendirian."

***

Aku terbangun karena dinginnya AC yang serasa merayap hingga ke tulang. Hal pertama yang aku lihat adalah kaki meja kerja. Untuk beberapa saat aku memutar memori, mencari-cari dimanakah aku saat ini.

Benar, aku ada di ruang residen. Seingatku terakhir kali aku sedang bercakap-cakap dengan Dokter Talaga di ruang ini.

Badanku terasa pegal. Sementara bahu kananku terasa amat berat seperti sedang dihinggapi kayu. Ada Dokter Talaga di sana, menyandarkan kepalanya di bahuku.

Laki-laki berambut hitam kelam itu masih terlelap. Deru napasnya yang teratur menjelma bak melodi yang memenuhi tempat ini, satu-satunya yang bisa kudengar selain detak jantungku sendiri.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang