SECRET WIND

1.6K 116 94
                                    

Kedua mata Sanemi perlahan terbuka kala dia merasakan cahaya matahari mulai menyapa wajahnya. Cahaya yang lembut namun cukup untuk membangunkannya.
Setelah agak sadar, Sanemi lalu mendudukkan dirinya. Lalu saat dia melihat sekitarnya, sudah pagi rupanya.
Sanemi sedikit mengernyit karena dirinya terbangun tidak berada di kamarnya.

"Hm?"
Sanemi spontan menoleh saat dia merasakan sebuah genggaman lemah di tangannya. Kedua iris Sanemi sedikit terbelalak saat melihat bahwa tangannya menggenggam salah satu tangan Mui. Ditambah kini, genggamannya itu terbalas meski dengan gerakan yang sangat lemah. Tubuh Mui merespon tanpa sadar genggaman Sanemi saat Sanemi hendak menarik tangannya. Sanemi sendiri malah tidak sadar jika dirinya menggenggam tangan Mui saat dirinya terbangun. Apakah mungkin semalaman dia tidur sembari menggenggam tangan anak itu? Ah, mungkin saja.

"Aku tertidur disamping anak ini rupanya. Sial." gerutu Sanemi setelah dia tahu apa yang terjadi. Sanemi pun hanya menghela napas panjang. Pagi harinya ini diawali dengan kejadian yang tidak terkira dan membuat Sanemi agak suram.
"Tokito nampaknya memang menghukumku." lanjut Sanemi. Dia merutuki dirinya sendiri dengan perasaan yang agak kacau.

Merasa tak ingin semakin kalut, dengan sangat perlahan Sanemi menarik tangannya dari genggaman lemah Muichiro. Lalu setelah berhasil, Sanemi kemudian keluar kamar Mui dengan lesu. Entah kenapa rasanya agak aneh. Rumahnya sunyi, ditambah dengan dirinya yang hanya berdua dengan Muichiro. Sanemi merasa seakan-akan dia dihantui oleh arwah Tokito. Sanemi memandang keluar rumahnya saat dia melewati pintu belakang teras, ditatapnya langit biru itu. Dia teringat akan sosok Giyuu. Kepulangannya masih esok hari. Sanemi sudah merindukan sosok itu sekarang.

Daripada tenggelam ke dalam pikirannya sendiri. Sanemi memutuskan untuk membuat sesuatu setelah ia mandi. Dia memasak makanan dengan bahan yang seadanya. Dia tidak bisa pergi ke pasar, dia takut jika dia meninggalkan Muichiro, anak itu nanti kenapa-kenapa saat dia tidak ada.
Selama tinggal bersama Giyuu, beberapa kali Giyuu mengajarinya membuat makanan yang mudah. Kini Sanemi membuat salah satu makanan sederhana yang Giyuu ajarkan padanya. Tak butuh waktu lama, makanan Sanemi sudah siap. Sanemi makan dalam diam sembari sesekali melamun saat ia mengunyah makanannya. Dia merindukan Giyuu.

"Ugh."

Dengan cepat, Sanemi meletakkan mangkuknya. Dia seperti mendengar suara Mui. Sanemi bergegas menuju ke kamar anak itu. Dan benar saja, dia melihat Muichiro yang sedang berusaha membuka kedua matanya.
"Mui!" Sanemi menghampiri anak itu. Dengan agak panik, Sanemi memeriksa keadaan Mui. Luka anak itu memang masih basah, tetapi sudah tidak terlalu parah. Sanemi juga memeriksa suhu tubuh Mui, siapa tau demam lagi. Soalnya wajah anak itu memerah.
"Jangan dipaksakan." ucap Sanemi. Dia mengelus lembut dahi Muichiro. Anak itu akhirnya berhasil membuka sedikit kedua matanya. Sorot mata itu nampak begitu sayu dan lemah.
Kedua iris Mui melirik Sanemi yang berada disampingnya. Tubuhnya masih terasa sakit.
"S-Sanemi-san." ucap Mui dengan susah payah.
"Ada apa, Mui? Aku disini." jawab Sanemi.
"S-Sakit." lirih Mui. Dia mengeluhkan luka terbukanya itu. Rasanya masih begitu sakit sampai-sampai Mui tak tahu lagi bagaimana harus menahannya.
"Bersabarlah. Giyuu dan Tanjiro sedang membawakan obat untukmu. Esok mereka akan kembali. Kau akan segera sembuh."

Sanemi sebisa mungkin menenangkan anak itu. Dia mengusap-usap lembut kepala Muichiro. Sesekali menyeka keringat yang ada di dahi Muichiro. Wajah anak itu masih memerah, dia menahan sakit di lukanya. Sanemi juga menggenggam tangan Muichiro. Dirasakannya tangan anak itu masih sangat lemah. Tak berdaya dalam genggamannya.
Muichiro tidak berkata-kata lagi, dia kini justru menangis dalam diamnya. Tubuhnya tidak bisa mentoleransi rasa sakit ini. Dia bukan mantan Hashira atau Pemburu Iblis. Dia hanyalah manusia biasa.
"Mui.." panggil Sanemi pelan saat dia menyadari jika Muichiro menangis. Hati Sanemi terasa begitu teriris. Pedih sekali melihat Mui dengan keadaan seperti ini dan tanpa ada Giyuu disampingnya.
"...jangan menangis. Ku mohon." lanjut Sanemi. Dia reflek menundukkan wajahnya. Mempertemukan dahinya dengan dahi Muichiro. Berusaha memberi ketenangan dengan cara yang sama saat dia berusaha memberi ketenangan pada Giyuu jika Giyuu sedang resah.
"Tolong jangan menangis." pinta Sanemi lagi.

Setelah membiarkan Mui meluapkan rasa sakitnya dengan menangis, Sanemi kemudian dengan perlahan mendudukkan Muichiro agar dia bisa bersandar di dinding kayu di belakangnya. Dengan sangat hati-hati, Sanemi menjaga tubuh Muichiro. Jangan sampai luka terbuka yang sudah dijahit Giyuu itu semakin parah. Bak menjaga patung porselen, Sanemi begitu menjaga Muichiro yang baru saja siuman hari ini.
"Aku ambilkan minum. Tunggulah sebentar." kata Sanemi sembari membenahi rambut panjang Mui yang nampak agak kusut dan berantakan. Sementara Mui, hanya mengangguk sebagai jawaban sambil menyeka sedikit air mata yang tersisa di ujung matanya.

Sanemi tersenyum sekilas pada Mui sebelum ia ke dapur untuk membuatkan minuman hangat.
Tak butuh waktu lama, Sanemi sudah kembali dengan sebuah nampan kecil berisikan segelas minuman hangat dan semangkuk bubur yang ia buat secara mendadak.

Tak

Sanemi meletakkan nampan kayu itu di sampingnya. Diambilnya segelas teh hangat itu lalu ia tiup-tiup pelan agar tidak terlalu panas. Setelah ia pastikan minuman itu tidak terlalu panas, Sanemi mengarahkan gelas itu ke mulut Muichiro dengan hati-hati.
"Minumlah. Pelan-pelan. Aku akan membantumu." ucap Sanemi sembari memegangi gelas itu agar Mui bisa minum. Sanemi tidak yakin jika Mui sudah bisa memegang sendiri gelas itu.
Sanemi memperhatikan wajah Mui yang sedang minum. Kedua kelopak matanya itu tertutup, menyembunyikan iris hitam kehijauannya. Warna mata yang teduh.
"Sudah?" tanya Sanemi. Dan Mui mengangguk. Sanemi kemudian meletakkan gelas itu. Dia beralih untuk mengambil mangkok bubur yang ada disana.
"Makanlah, aku akan menyuapimu."

Dengan sangat hati-hati, Sanemi mulai menyuapi Muichiro. Perlahan-lahan, dengan telaten Sanemi melakukannya. Tak lupa, Sanemi juga sesekali mengajak Mui bicara. Berkisah entah tentang apa saja, padahal Mui hanya bisa menjawabnya dengan anggukan, gelengan atau sesekali berkedip lucu saat Muichiro tidak paham akan perkataan Sanemi.
Nampaknya membutuhkan waktu yang agak lama untuk Sanemi menyuapi Muichiro dengan semangkuk bubur. Yang mana Sanemi memaklumi hal itu karena Muichiro juga baru siuman hari ini. Dan pada akhirnya, bubur itu berhasil dihabiskan oleh Muichiro.
Sanemi lalu meletakkan mangkuk itu kembali ke nampan. Setelah membereskannya, Sanemi kembali ke sisi Muichiro. Melihat rambut panjang Mui yang agak acak-acakan. Sanemi berniat untuk menyisir rambut itu.

Setelah mengambil sisir kayu, Sanemi kemudian dengan sangat hati-hati menyisir rambut panjang Muichiro. Jemari Sanemi merasakan helaian halus itu. Helaian yang sama dengan milik Tokito. Yang mana juga pernah Sanemi sentuh sebelumnya. Bahkan Sanemi ingat betul bagaimana rasanya saat dia dengan sengaja menjambak rambut panjang Tokito saat mereka sedang melakukan itu dulu.
"Rambutmu indah." puji Sanemi tanpa sadar. Sedangkan yang dipuji hanya diam melamun. Mungkin juga tidak mendengarnya.
Setelah selesai, Sanemi kemudian beralih ke depan Muichiro. Ditatapnya wajah mungil itu, terlihat lugu. Begitu lugu sampai-sampai mantan ayah angkatnya menjual anak ini ke rumah bordil. Menjadikannya pelacur.

Tangan Sanemi kembali terulur. Dia merapikan helaian yang membingkai kedua wajah Muichiro. Sanemi menarik helaian itu ke belakang telinga Muichiro. Namun, saat tangan Sanemi sudah selesai menyibakkan helaian itu ke belakang telinga Muichiro, tangan Sanemi justru beralih menyentuh salah satu pipi Muichiro. Ibu jari Sanemi mengusap lembut pipi putih anak itu. Kulit wajahnya ternyata halus sekali. Nampak terlalu sempurna ciptaan Tuhan satu ini. Selain itu juga nampak terlalu sama dengan mendiang Tokito. Begitu sama sampai-sampai Sanemi tidak tahu dimana letak bedanya.
"Mui, maafkan aku." lirih Sanemi tiba-tiba. Kedua mata Sanemi menatap sayu wajah Muichiro. Sedangkan yang ditatap hanya berkedip-kedip kebingungan.
"S-Sanemi-san?" ucap Mui sebisa mungkin. Dia bingung bukan main. Kenapa Sanemi meminta maaf padanya? Jika ada yang harus minta maaf, tentu saja itu dirinya. Karena dia sudah merepotkan Sanemi dan Giyuu sampai seperti ini.

Tangan Sanemi masih setia membelai pipi Muichiro. Beberapa kali pula Sanemi meminta maaf pada Mui. Perasaan bersalahnya yang masih tumbuh subur pada Tokito di masa lampau membuat Sanemi agaknya sedikit tidak bisa berpikir jernih. Hingga ia samar membedakan bahwa yang ada di depannya itu bukanlah Tokito.
"Aku sungguh jahat sekali padamu, Tokito. Ku mohon maafkan aku." racau Sanemi lagi. Bahkan dia menyebutkan nama Tokito sekarang.
'Tokito?' Batin Muichiro bingung. Dia tidak tahu siapa itu Tokito yang disebutkan Sanemi. Tapi entah kenapa Sanemi terlihat begitu menyesal saat nama itu ia sebut.
Belum sempat Muichiro kembali berspekulasi, Sanemi kini justru memajukan wajahnya. Membuat jarak mereka berdua hampir tidak ada. Sejujurnya Muichiro agak takut sekarang.

Dan hal yang tak terduga pun terjadi. Sanemi mencium bibir Muichiro saat itu juga. Dengan keadaan Muichiro yang sadar. Sanemi tanpa permisi menciumnya. Tepat di bibir. Muichiro yang tidak bisa menghindar itu hanya membelalakkan matanya, tak percaya akan apa yang terjadi padanya saat ini.
'Apa-apaan ini?'


.
.
.
Thank you!

KAZE MIZUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang