Kotetsu terperangah saat melihat senyuman Tanjiro. Dia tidak datang untuk ini, bukan ini yang Kotetsu inginkan. Tujuan Kotetsu kesini adalah ingin meminta maaf karena dirinya malah mendahului Tanjiro, padahal Tanjiro sudah berjuang dengan sangat keras untuk Muichiro. Hanya saja Tanjiro belum memiliki keberanian untuk mengatakannya saja. Kotetsu sama sekali tidak menyesal sudah menyatakan perasaannya pada Muichiro. Yang dia sesali adalah dia tidak tahu jika Tanjiro juga memiliki perasaan yang sama pada Muichiro. Andai dia tahu lebih awal, maka Kotetsu memilih untuk tetap setia pada Tokito dan tidak ikut menaruh hati pada Muichiro. Nmaun, kenapa sikap Tanjiro malah seperti ini? Tidak inginkah Tanjiro menyangkal atau sedikit berdebat dengan Kotetsu sekarang?
"Kenapa kau malah berkata seperti itu, Tanjiro-san?"
"Hmm? Kenapa ya. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk Muichiro. Apapun yang terbaik untuknya. Dan jika yang terbaik untuknya adalah bersama dengan dirimu, aku tidak masalah." jawab Tanjiro kalem.Lagi-lagi, Kotetsu dibuat tak mengerti. Ada sedikit rasa kesal di dalam hatinya. Kenapa Tanjiro seperti ini? Terkesan menyerahkan Muichiro begitu saja padanya. Apakah karena mereka berdua bersahabat dan Tanjiro tak mau persahabatan ini rusak hanya karena mereka mencintai orang yang sama untuk kedua kalinya? Jika memang benar begitu, Kotetsu sebenarnya kan juga sama. Dia tidak ingin persahabatan ini rusak. Persahabatan ini sangatlah berharga, tak ternilai kenangannya. Tapi Kotetsu tidak menyangka dia akan mendapatkan jawaban seperti ini dari mulut Tanjiro. Kotetsu salah mengira, padahal dalam benaknya, dia sudah membayangkan Tanjiro yang akan kecewa padanya habis-habisan.
Brak!!
"Tidak! Aargh, bukan ini maksudku!"
Tanjiro terkejut saat dia melihat Kotetsu menggebrak lantai kayu rumahnya dengan sangat keras. Sampai-sampai dua gelas minuman itu isinya ikut bergetar karena saking kerasnya Kotetsu menggebrak lantai kayu itu. Rahang Kotetsu juga terlihat mengeras, rasanya geram.
"Kotetsu-kun?" panggil Tanjiro kebingungan.
"Tanjiro-san! Apa-apaan jawabanmu yang barusan itu?! Kenapa.. Kenapa kau malah terkesan menyerah begitu saja!? Kenapa!?" tanya Kotetsu yang tak bisa lagi menahan kekesalan di hatinya. Sementara Tanjiro, dia masih kebingungan.
"Jika harus ada yang mundur disini, itu seharusnya aku! Bukan dirimu, Tanjiro-san!" lanjut Kotetsu yang masih geram.
"Tanjiro-san jauh lebih pantas berssndkng dengan Muichiro daripada diriku yang lemah ini!!" tambah Kotetsu semakin emosi.
"Kotetsu-kun, ku mohon tenangkan dirimu dulu. Kita bicara lagi pelan-pelan ya." pinta Tanjiro yang memang agak panik. Kotetsu yang geram memang cukup menyeramkan. Padahal Tanjiro hanya berkata jujur dan tidak dibuat-buat. Namun kenapa Kotetsu malah marah besar begini padanya. Dimana letak salahnya? Apakah kejujurannya ini menyinggung perasaan Kotetsu?
"Ck! Seharusnya Tanjiro-san tidak berkata begitu. Aku yakin, jika Muichiro mendengarnya, pasti dia akan sangat kecewa."Kotetsu kembali menenangkan dirinya. Diminumnya minuman itu agar sedikit membantunya untuk tenang. Bersyukur napasnya sudah kembali teratur setelah dia minum, emosinya juga sudah cukup turun. Kekesalan sesaatnya tadi memang tidak berlangsung lama, tapi sangat membuatnya meledak-ledak. Kotetsu lalu kembali menjelaskan pada Tanjiro, bahwa dia datang kesini untuk meluruskan sesuatu. Pertanyaannya sudah terjawab, memang benar Tanjiro juga mencintai Muichiro. Dan itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Kotetsu paham betul seperti apa Tanjiro itu. Sudah dapat dipastikan bahwa Tanjiro pasti sudah berjuang sangat keras demi Muichiro, tanpa Kotetsu bertanya perjuangan seperti apa yang sudah Tanjiro lakukanpun, Kotetsu sudah tahu jawabannya. Yang pastinya perjuangan itu bukanlah perjuangan yang remeh temeh.
Selain itu, Kotetsu juga meminta maaf pada Tanjiro. Itu semua karena ketidaktahuannya tentang perasaan Tanjiro pada Muichiro. Walau dengan perasaan yang tidak enak, Tanjiro akhirnya menerima permintaan maaf Kotetsu.
"Aku akan berhenti disini, dan kembali memilih untuk setia pada Tokito-san." ucap Kotetsu yakin.
Tanjiro yang mendengarnya trenyuh seketika. Dia juga melihat Kotetsu menunjukkan hulu pedang milik Tokito di depan matanya. Dengan begini, perasaan trenyuh Tanjiro semakin menjadi-jadi. Tokito sudah tiada, dan Kotetsu masih memilih untuk mencintai sosok itu. Padahal, mungkin baru saja Kotetsu merasakan patah hati karena dia merelakan hati Muichiro untuknya. Lalu dengan cepat dan penuh keyakinan, Kotetsu berkata padanya bahwa dia memilih untuk kembali mencintai sosok Tokito.
Dalam hati Tanjiro, sungguh dia merasa kagum pada Kotetsu. Cinta anak itu pada Tokito begitu besar dan tidak bisa diruntuhkan begitu saja.
"Kotetsu-kun, kau tidak perlu memaksakan diri." kata Tanjiro setelah bergelut dengan nuraninya.
"Tidak. Aku sudah meyakinkan diriku. Aku akan memilih setia pada Tokito-san." tandas Kotetsu tanpa keraguan sedikitpun.Tanjiro yang tidak menemukan keraguan sedikitpun dalam sorot mata Kotetsu itu hanya bisa menghela napas. Dia juga ingin mensupport Kotetsu, sahabatnya. Walau sesungguhnya dalam hati, Tanjiro berdoa pada Dewa agar suatu saat Kotetsu dipertemukan dengan orang yang benar-benar bisa mengisi relung hati anak itu dan mengobati luka di hati Kotetsu atas kehilangannya pada Tokito.
"Lagi pula, saat aku menyatakan perasaanku pada Muichiro, aku melihat ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya." ucap Kotetsu sembali kembali memasukkan hulu pedang milik Tokito itu dibalik bajunya.
"Hm? Sesuatu yang berbeda?" tanya Tanjiro penasaran.
"Ya. Dalam binar sorot matanya, sepertinya tidak ada aku disana. Padahal aku sedang menyatakan perasaanku saat itu. Seperti ada orang lain yang dia harapkan." jawab Kotetsu sambil mengangguk.
"Orang lain?" ulang Tanjiro agak tak paham serta penasaran.Kotetsu hanya menghela napas panjang. Pasti Tanjiro belum paham maksudnya. Yang penting dia sudah menyampaikan semuanya, dan alangkah baiknya untuk pamit pulang. Toh apa yang membuatnya gundah, semua sudah tersampaikan dan sudah mendapatkan jawaban jelas. Kini, dia tinggal kembali melanjutkan hidup seperti sebelumnya. Rutin mengunjungi makam Tokito, membuat pisau dan pedang bersama Kanamori dan Haganezuka untuk menyambung hidup. Serta menjaga cintanya pada Tokito entah untuk sampai kapan.
Kotetsu lalu berdiri, dia kembali memakai topeng Hyottokonya. Sebelum akhirnya dia berpamitan pada Tanjiro. Rasanya dia sudah sangat ingin pulang dan beristirahat sembari berdoa akan bertemu dengan Tokito dalam setiap bunga tidurnya.
"Aku permisi, Tanjiro-san. Maaf sudah merepotkanmu." pamit Kotetsu.
"Ah tidak-tidak. Sama sekali tidak merepotkan. Lebih seringlah mampir kemari." jawab Tanjiro. Dan Kotetsu mengangguk sebagai jawaban.
Lalu, sebelum Kotetsu beranjak pergi, dia mengatakan sesuatu pada Tanjiro.
"Oh iya, Tanjiro-san. Tentang siapa yang ada dalam sorot mata Muichiro, perasaanku mengatakan bahwa itu adalah dirimu. Dan ku harap itu memang dirimu, Tanjiro-san. Tolong berjanjilah padaku, bahagiakan Muichiro ya!"Tanjiro mematung setelah mendengar kalimat Kotetsu. Hingga dia hanya mampu terdiam saat Kotetsu mulai berjalan meninggalkan rumahnya. Entah angin apa yang membawa perasaan berdebar itu pada Tanjiro. Hanya saja, kalimat Kotetsu seakan memberinya isyarat agar dirinya tak meninggalkan Muichiro begitu saja. Membuatnya harus segera meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya memang pantas untuk bersama Muichiro.
"Terima kasih, Kotetsu-kun. Aku berjanji akan selalu membahagiakannya. Percayakan padaku!" bisik Tanjiro pada sang angin.Kini Kotetsu bisa kembali melanjutkan perjalanan pulangnya dengan hati yang lebih tenang. Hatinya juga jauh lebih lega sekarang. Dengan begini, dia bisa kembali melanjutkan hidup seperti biasanya tanpa ada perasaan aneh yang mengganggu hati kecilnya.
'Aku merasa bersalah karena sempat jatuh cinta pada sosok yang terlihat sama sepertimu, Tokito-san. Tolong, maafkan aku ya. Namun, sekarang aku sudah kembali padamu. Dengan perasaan yang tak berubah sama sekali. Aku selalu mencintaimu, Tokito-san.'
.
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
KAZE MIZU
Fanfiction"Disini, berdua, dalam keheningan malam. Tomioka, ku harap nanti kau akan mengerti." -Shinazugawa Sanemi