Satu

1.7K 95 5
                                    

Ruang kelas berukuran 10 x 9 meter tak luput dari mata tajam sesosok siswa laki-laki. Ia berdiri di depan kelas dengan seragam putih abu yang masih nampak segar dan baru. Sekali lagi matanya menjelajahi ruang kelas ini. Mulai dari ujung---tempat galon berada hingga lampu phillips yang berada tepat di tengah langit-langit atap.

Ia siswa baru. Sama seperti yang lainnya. Namun hanya ia seorang yang masih berdiri, sedang temannya yang lain telah duduk di kursinya masing-masing. Entah, ia sendiri pun tak tau mengapa kakinya tak dapat melangkah.

"Eh, kenapa masih berdiri disitu? Lo gamau duduk?"

Ujar salah seorang perempuan. Rambutnya di kuncir ekor kuda dengan jepitan berwarna pink menghiasi poni rambutnya. Lucu, namun tak selaras dengan tubuhnya yang menjulang. Tadi ia sempat mengukur tinggi badannya dengan perempuan itu saat MPLS di lapangan, dan hasilnya kepalanya hanya sampai di bahu sang perempuan.

"Gue nggak tau harus duduk dimana"

Ia menggaruk pangkal kepalanya yang tidak gatal. Matanya berkeliling mencari tempat duduk kosong yang bisa ia duduki.

"Itu tuh, di pojok baris kedua ada yang kosong. Lo duduk disana aja" ujar sang perempuan.

Ia pun berjalan pelan mengarah pada tempat yang perempuan itu tunjuk. Disana telah terduduk seorang siswa laki-laki. Wajahnya nampak tegas. Tak heran karena rahangnya pun terlihat kokoh. Matanya sipit namun tajam. Sangat memesona menurutnya.

"Misi, gue boleh duduk di sini?" Tanyanya hati-hati sebab laki-laki tersebut terasa galak dan dingin.

"Boleh"

Lantas, ia pun menaruh tasnya di gantungan samping meja. Dan menduduki kursi kosong yang ada. Tangannya asik mengetuk-ngetuk meja. Ia bingung harus berbuat apa. Ingin berkenalan dengan teman disebelahnya, namun pria itu seakan tak tertarik untuk mengobrol dengannya. Jadi mau tak mau mulutnya pun tertutup dengan rapat.

Duh, ngapain ya biar ga bosen? Apa pura-pura nulis aja kali ya biar keliatan ada kerjaan dikit.

Dikeluarkannya lah alat tulisnya dari dalam tas. Buku, tempat pensil, bahkan penggaris juga dikeluarkan. Ia memutuskan untuk menorehkan goresan-goresan pensil pada bukunya. Garis lengkung, vertical, horizontal, diagonal telah tertuang di atas bukunya. Ia menggambar.

Setelah beberapa menit berlalu, di atas kertas telah terpampang gambar sebuah rumah satu lantai dan pohon mangga yang tertanam di pekarangan rumah itu. Rumah yang tampak asri dengan sepasang jendela besar di sisi-sisi nya.
Tak lupa atap rumah yang digambar seolah terbuat dari genteng, menciptakan kesan jadul namun juga minimalis.

"Suka gambar?"

Tanya pria disebelahnya tiba-tiba. Ia sempat tertegun saat pria itu memulai obrolan dengannya. Ia pikir pria itu tak ingin diganggu olehnya. Namun rupanya ia salah.

"Eh, iya nih lumayan suka hehe"

Pria itu tersenyum. Gambar miliknya diambil untuk dilihatnya lebih dekat. Lihat sana lihat sini, cukup lama pria itu menerawang gambarnya. Tapi tak masalah, paling tidak pria itu berusaha untuk mencoba berbicara dengannya.

"Bagus gambar Lo, ini rumah Lo?"

Laki-laki itu menunjuk rumah yang ada di gambar.

"Iya rumah gue..."

".....eh bukan maksudnya rumah orangtua gue" Rasanya sangat gugup meski ia tak tau mengapa.

"Oalah. Btw kita belum kenalan loh. Kenalin, nama gue Namjoon. Panggil aja Jon"

Pria yang bernama Namjoon itu mengulurkan tangan ke arahnya. Senyum Namjoon semakin merekah kala ia menerima jabatan tangan itu.

"Gue Jimin, panggil aja Jim. Salam kenal ya Jon" Jimin balas tersenyum ke arah Namjoon.

VARSHA || KOOKMIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang