35. Usai

94 21 3
                                    

-Usai-

* * * *

Tiga hari sudah berlalu, kini Kania sudah di perbolehkan untuk pulang. Berbicara tentang mimpinya tiga hari lalu, gadis itu sedikit kecewa dan juga sangat kesal pada Gael yang merusak mimpi indahnya.

Ponsel Kania berdering di atas nakas, gadis itu bergerak mengambilnya dan menggeser ikon hijau di layar pipih itu.

"Kenapa, Khay?" tanya Kania mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Pulang hari ini?" tanpa sadar Kania mengangguk, padahal Khayla tak dapat melihatnya.

"Iya, lo datang gak?"

"Sorry, Kan. Gue ada acara ama bonyok. Nanti kalau udah selesai acara, gue ke rumah lo."

"Acara apa?"

"Gue gak tahu pasti, makan malam kolega bisnis gitu lah."

"Tiati di jodohin sama om-om lo."

"Kalau om-om nya modelan Song Jong-Ki gak bakal nolak gue." Kelakar Khayla di sebrang sana, membuat Kania ikut terkekeh pelan.

"Song Jong-Ki nye gak mau ama lo."

"If we not try, how we can know?"

"Udah, gausah di coba. Ujung-ujungnya bakal ente. Nice try and try again." Tawa Khayla pecah di sebrang sana.

"Yaudah, gue tutup dulu. Bye nak pongot."

Tut!!

"Bang— astaghfirullah! Tobat Kania." Gadis itu tak jadi mengumpat, mengelus dada sabar.

"Udah?" tanya Gael, di balas anggukan kecil oleh Kania.

Gael mengangkat satu ransel berisi pakaian Kania yang dibelikan oleh Sinta dua hari lalu.

"Pakai kursi roda aja." Ucap Gael, namun Kania dengan cepat menolak.

"Yang cedera tangan gue, ngapain pakai kursi roda? Gue gak lumpuh!" semprot Kania, mendelik Gael sinis.

"Galak banget."

Gael menggandeng tangan kiri Kania, membawa gadis itu menuju mobilnya di parkiran rumah sakit. Mata Kania menyipit menatap seseorang yang tampak familiar di matanya memasuki salauh satu ruangan di rumah sakit.

"Lihat apa?" tanya Gael, mengikuti arah pandangan Kania.

"Nggak, bukan apa-apa." Kania kembali menatap ke depan. Salah lihat kali gue.

Setibanya di parkiran, Gael langsung membukakan pintu untuk Kania. Setelahnya berjalan memutar dan duduk di kursi kemudi. Kania langsung memakai seat belt, begitu juga dengan Gael.

Sepanjang perjalanan, Kania banyak diam. Hanya sesekali menjawab saat Gael bertanya. Rasanya, gadis itu mulai memberi jarak untuk Gael atas dirinya. Semua kembali terasa asing seperti mereka baru mengenal satu sama lain.

"Kita beneran jadi asing gini?" Gael berkata spontan, Kania yang sedari tadi menatap ke luar jendela hanya bisa menarik nafas pelan.

"Mungkin?" jawabnya ambigu, tanpa menoleh sedikitpun. Pikiran keduanya berkelana jauh, terjebak dalam perbedaan besar yang membuat mereka tak bisa melawan takdir tuhan. Melawanpun rasanya tak ada guna, karena kembali pada kenyataan, tangan Kania yang menadah dan tangan Gael yang menggenggam tak mungkin saling bergandengan.

"Seharusnya kita gak kaya gini." Kania berucap memecah keheningan di antara mereka berdua.

"Seharusnya kita gak perlu jatuh sedalam ini. Seharusnya kita gak perlu saling suka karena pada ujungnya kita juga yang akan terluka. My life is better if im not fallin love with you. This really hurt me, and i know, this hurt you too."

Karena Dia Perempuan. | END |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang