33. Friendzone

85 22 2
                                    

-Friendzone-

* * * *

Kania meringkuk di atas brankar menahan keram perut, sepertinya karena Kania kedatangan tamu bulan ini. Kania bergerak gelisah, sesekali mengerang.

"Datang bulan, sayang?" Sinta menyadari Kania bergerak gelisah sedari tadi.

"Iya, Tante."

Sinta tersenyum hangat, tangannya bergerak membuka laci nakas, di sana ada pembalut. "Ini ada pembalut."

Kania menatap heran pada benda yang ada di tangan Sinta. Bagaimana bisa? Masa Khayla ampe hapal tanggal bulanan gue?

"Sana, pakai dulu pembalutnya. Tante mintain kantong hangat ke suster, buat ngurangi kram perut kamu." Kania menurut, berjalan sambil sedikit menunduk memegangi perut menuju toilet yang ada di ruangannya. Sementara Sinta berjalan menuju resepsionis guna meminta kantong hangat.

Sinta membantu Kania kembali ke atas brankar, gadis itu masih setia memegangi perut yang terasa begitu sakit. Sinta meletakkan kantong hangat di atas perut Kania.

"Laper sayang?" setiap kali Sinta memanggilnya dengan lembut, saat itu pula rasanya Kania ingin menangis. Antara terharu dan sedih yang menjadi satu. Kania mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Ayo duduk, Tante suapin makan." Sinta membantu Kania untuk duduk, menjadikan bantal sebagai sandaran punggungnya.

Sinta duduk di samping Kania, mengambil mangkuk bubur di atas nakas dan menyuapi Kania penuh perhatian. Sesekali wanita itu menyuruh Kania minum, lalu lanjut menyuapi hingga setengah mangkuk bubur ia habiskan.

"Im full." Ujar Kania, memegang perutnya yang sudah terasa kenyang.

"Iya, yang penting udah masuk karbohidrat. Nanti kalau laper, bilang ya." Kania mengangguk, ini pertama kalinya bagi gadis itu mendapat perhatian dari sosok ibu, walau bukan ibu kandungnya. Namun kehangatan Sinta, membuat Kania nyaman dan ingin selalu bersama wanita itu.

"Maaf ya Tante, Kania merepotkan."

Sinta mengusap lembut surai sebahu Kania. "No, siapa bilang merepotkan? Tante, Om, sama Gael itu gak pernah merasa di bebani oleh kamu. Tante udah anggap kamu anak, loh. Gak mau manggil Mami juga?"

Kania tertawa pelan, lalu mengangguk kecil. "Mami." Panggil Kania dengan nada lucu, Sinta di buat gemas olehnya.

"Gemes banget siii." Wanita itu mencium kedua pipi dan kening Kania. "Tante harap, walaupun kamu sama Gael gak bersama tetap menjalin hubungan baik, ya?"

Kania terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Mi."

Sinta menarik Kania ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan yang selama ini Kania inginkan. Kehadiran Gael dan kedua orang tuanya, membuat Kania ikut merasakan keharmonisan keluarga itu.

Di balik pintu, Arumi berdiri, menatap ke dalam melalui sedikit kaca yang ada di sana. Rasanya sedikit sakit melihat anaknya lebih bahagia saat bersama keluarga orang lain.

"Maaf, sayang."

* * * *

Sepulangnya dari Gereja, Gael dan Mahatama langsung kembali ke rumah sakit.

"Siapa itu?" tanya Mahatama, saat melihat ada wanita yang berdiri di depan kamar Kania.

"Tante?" panggil Gael, ia tahu bahwa itu adalah Arumi.

Arumi menoleh, mendapati Gael melangkah ke arahnya. Ia sudah tahu Gael, ia selalu mengikuti perkembangan Kania diam-diam. Mulai dari dengan siapa saja gadis itu berteman, hal apa saja yang ia lakukan, dan siapa yang merundungnya dan mencelakai Kania.

Karena Dia Perempuan. | END |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang