-Merpati-
* * * *
Khayla berdecak sebal di dalam ruangan putih bercampur biru itu, bau obat begitu menusuk dan Khayla tak suka bau khas rumah sakit itu.
"Hai, sayang." Jena datang menghampiri Khayla yang sedang duduk di depan jendela kaca, memandang ke arah jalanan di bawah sana.
"Hai, Ma."
"Lagi apa?" tanya Jena, tangannya terangkat hendak mengelus surai Khayla, namun tak jadi. Surai itu sudah tak ada lagi. Khayla yang melihat itu, lantas tersenyum kecil.
"Maaf ya, Mama gak bisa elus rambut aku lagi."
Jena menatap Khayla teduh, matanya sudah berkaca-kaca namun ia menahan agar tak menangis di hadapan gadis itu. "Gak apa-apa, nanti rambut kamu bakal tumbuh lagi. Kamu pasti sembuh."
Khayla mengangguk kecil, kembali menatap jalanan di bawah sana. "Aku mau main sama Kania, Ma." Air mata tiba-tiba saja jatuh di pipi Khayla.
"Sembuh dulu dong, biar bisa main sama Kania lagi. Sayang banget ya sama Kania?"
Khayla mengangguk pelan, seulas senyum tercetak di wajahnya saat mengingat kembali momen kebersamaan mereka.
"Dulu waktu SMP aku gak di temenin karena aku anak pindahan. Aku duduk sebangku sama Kania, dulu dia itu jutek banget sama aku. Tapi, pas aku di bully temen sekolah, Kania yang bantu." Khayla bercerita dengan mata menerawang langit yang mulai berwarna abu-abu. Hujan akan turun.
"Sejak kejadian itu, aku ganggu Kania terus sampai dia risih. Tapi lama-lama kami temenan, dan gak ada satupun yang berani bully aku. Semua takut sama Kania, dia itu berani banget, kuat, hebat juga. Aku seneng temenan sama dia." Jena mendengar dengan seksama cerita Khayla tanpa berniat menyela sedikitpun.
"Mama tau, waktu itu papa nuntut aku buat dapat juara satu, tapi aku tahu Kania lebih pintar dari aku dan pasti dia yang jadi juara satu. Aku marah sama dia karena papa marahin aku, tapi dia gak benci sama aku. Padahal aku tumpahin air di catatannya, kata dia 'gapapa, nanti gue catat ulang.' Rasanya aku jadi orang paling jahat, aku bodoh banget benci dia dulu. Tapi sekarang udah nggak, aku sayang sama dia dan dia juga sayang aku. Rasanya kalau gak ada dia, aku gak bakal bisa bertahan sampai sejauh ini."
"Dia juga pasti seneng banget kalau bisa main sama kamu lagi. Jadi, semangat ya, Nak. Sembuh ya sayang." Jena membawa Khayla ke pelukannya, di dalam hatinya wanita itu menangis sesak.
"Aku mau ketemu dia bentar boleh, Ma?"
Jena mengurai pelukan, mata sendu Khayla membuatnya tak bisa menolak. "Mama tanyain sama dokter dulu, ya?"
* * * *
Kamar Kania sekarang ini seperti kapal pecah, banyak kertas berserakan di mana-mana. Tadi, sesampainya di rumah, gadis itu sibuk membungkus kado untuk Khayla. Ulang tahun ke-18 gadis itu akan tiba dua hari lagi, di tanggal 27 Oktober. Kania begitu tak sabar memberi kejutan pada sahabat satu-satunya itu.
"Oke, selesai!" seru gadis itu, setelah semua barang yang ia belikan untuk Khayla masuk ke dalam sebuah kotak berukuran cukup besar dan di balut dengan kertas kado berwarna biru. Kecuali kalung sayap itu, ia ingin memberikan pada Khayla langsung tanpa balutan kertas kado.
Ting!!
Ponsel gadis itu berdenting, pesan dari Khayla. Kania membalasnya penuh semangat.
Khaylalup♡
Dimana lo?
Ketemuan ayo, di Stella Bread.
Cepetan gue udah di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Dia Perempuan. | END |
Teen FictionBagaimana jadinya jika kamu, terlahir sebagai seorang perempuan tetapi tak pernah diharapkan? Hadirmu nyata namun semu. Akankah kau sanggup untuk bertahan hingga mendapat pengakuan?. Permasalahan remaja tak melulu tentang cinta, ada juga tentang mer...