-Jangan Di Paksa-
* * * *
Dua bulan berlalu, Kania perlahan kembali menjalani hari tanpa Khayla. Walau berat, ia coba jalani. Mimpinya menjadi penulis terkenal juga sudah terwujud, novelnya sudah terjual sebanyak 20 ribu eksampler dan tersedia di seluruh toko buku Indonesia.
Hubungannya dengan Sandega perlahan membaik, cowok itu setia membantunya di masa-masa sulit saat merevisi novel. Tapi tak jarang pula keduanya berkelahi.
Berbeda dengan hubungannya dan Gael, sama sekali tak membaik. Mereka kian asing dengan perasaan masing-masing. Kania masih mencintai cowok itu, tapi Gael entahlah. Beberapa kabar beredar, katanya Gael berpacaran dengan Reani.
Kania kini duduk di kelas 12-MIPA 1, masih bertahan di kelas unggulan karena dia kembali menjadi juara 1 paralel. Di belakang gadis itu ada Rangga, dan di depannya ada Gael. Iya, Gael. Cowok itu menduduki peringkat 3 paralel, dan Reani di peringkat 4. Kania sedari dulu memang tak banyak bicara dengan murid lain, sampai saat ini juga tidak.
Ketika jam istirahat, Kania akan pergi ke perpustakaan untuk membaca buku atau sekedar merebahkan kepala. Pergi dan pulang sekolah kini selalu bersama Rangga. Hidupnya seolah tak ada gairah sejak kepergian Khayla. Bahkan boy grup Treasure kesukaannya tak mampu lagi membuat dia euphoria atau tertawa lepas. Semua kebahagiaannya seolah hilang bersama Khayla.
Reani juga semakin menindasnya karena Kania tak membalas. Gadis itu semakin angkuh, dan menyebar rumor-rumor aneh agar para murid membencinya. Tapi Kania tak peduli itu semua.
"Kak, bantu kerjain ini dong." Panggil Rangga, gadis itu menutup novelnya dan menoleh ke belakang. Hubungan keduanya sudah jauh membaik, dan Arumi mengharuskan Rangga memanggil Kania dengan embel 'Kak' dan selalu bersikap sopan.
Kania menjelaskan pada Rangga, hingga cowok itu mengangguk paham. "Makasih, ya."
"Sama-sama."
Kania kembali membuka novelnya, namun tiba-tiba saja Reani menyiram buku itu dengan air.
"Uh, sorry."
"Lo apa-apaansih?!" bentak Rangga, mendorong Reani untuk menjauh dari meja Kania. Segera cowok itu membuka hoodie yang ia pakai dan meng-lap meja Kania sebelum air merembes ke baju sang kakak.
"Oh, ternyata lo udah jadi babu Kania juga? Baagus deh, sampah emang cocok berteman sama sampah. Mulai dari nyokap lo, sampai lo berdua, itu sampah!" reani berkata jumawa dengan dagu terangkat ankuh.
Plak!!!
Tamparan melayang di pipi mulus gadis itu, suaranya memggema hingga ke seluruh sudut ruang kelas.
"Lo—"
Plak!!
"Anj—"
Plak!!
"Arghh! Bang—"
Plak!!
Empat kali berturut-turut, Kania menampar Reani kuat. Gadis itu menangis dengan tangan memegangi pipi kirinya.
"Gue diam bukan berarti gak mampu balas perbuatan lo! Terserah lo mau hina gue kaya gimana, asal gak bawa nyokap, adek, dan sahabat gue. Ngerti?!" tekan Kania dalam, Reani yang terisak hanya bisa diam. Dengan kaki di hentak kesal gadis itu berlari keluar dari kelas. Kania menatap ke seluruh penjuru kelas tajam, membuat para murid langsung kembali pada kesibukan masing-masing.
Kania kembali duduk di kursinya, begitu juga dengan Rangga. Pelajaran olah raga sebentar lagi akan di mulai, dan Kania sangat benci pelajaran itu.
Ralat.
Bukan pelajarannya, melainkan gurunya. Pak Rayanza, guru olahraga baru mereka yang terlihat seperti orang mesum. Kania benar-benar tak menyukia pria itu."Ayo." Rangga menarik tangan Kania yang tampak enggan untuk bangkit.
"Gue pusing," Kania menelungkup'kan kepala di atas meja.
"Mau gue izinin?" gadis itu mengangguk. "Yaudah, gue ke lapangan dulu." Kania tak menjawab, membiarkan Rangga berjalan keluar dari ruang kelas.
Tangan gadis itu bergerak mengambil buku diary Khayla dari dalam tas-nya. Tak pernah bosan membaca lembar demi lembar kata yang tertulis di sana. Beberapa foto kebersamaan mereka yang tertempel di sana menarik sudut bibir Kania.
Tangan kanannya berpindah menyentuh leher jenjangnya yang terpasang kalung sayap milik Khayla.
"Gimana kabar lo di sana? Maaf ya, gue belum bisa datang. Gue masih belum ikhlas, Khay."Biarlah mereka mengatakan bahwa Kania egois, lebay, atau apalah. Ia tak peduli. Karena nyatanya, tanpa ada Khayla di sini, dunia seolah tak ada warna.
Kania segera menyimpan buku itu saat seseorang memasuki ruang kelas. Ternyata Gael. Cowok itu menatap Kania, beberapa detik netra mereka saling bertemu sebelum Kania memutus kontak terlebih dahulu.
"Apa kabar?" Gael memutar kursinya, menatap Kania dalam, sedangkan gadis itu tertunduk.
"Baik."
Gael jelas tahu bahwa 'Baik' yang di ucapkan Kania tak sebaik itu.
"Sudah berdamai?"Kania menggeleng, menatap Gael sebentar lalu kembali menunduk. "Damai, iklhas, rela atau apapun itu. Gue belum bisa."
Gael mengangguk kecil. "I love you." Tiba-tiba saja kata itu terlontar dari bibir cowok itu. Kania menatap dalam pupilnya. "I love you, now, and more."
Kania menarik seulas senyum tipis. "Makasih udah mencintai gue yak gak sempurna ini."
"Terimakasih juga sudah mencintai saya, walau kita tak pernah bisa bersama."
Keduanya diam, larut dalam pikiran masing-masing. Gael berpindah duduk ke atas meja, matanya masih tak lepas dari manik Kania.
"Maaf."
Cowok itu menarik tengkuk Kania, menyatukan bibir, seolah melepas rindu yang selama ini ia tahan. Kania tak membalas ataupun memberontak. Darahnya berdesir, dengan jantung yang terpair.
Kania melepas pautan. "Cukup, gue gak mau jatuh terlalu dalam."
"Tapi kita udah jauh, Kania."
"Belum terlalu jauh, masih bisa pulang."
"Kita coba jalani dulu."
"Gue udah pernah bilang 'kan, buat apa mencoba sesuatu yang lo udah tahu gimana hasilnya?"
"Lo egois. Lo cuma mikirin gimana hati lo. Kenapa lo gak pernah mandang gue?"
"Egois? Dari mana? Gak mandang lo? Terus pair jantung gue saat lo cium itu apa? Bukan cinta? Jangan memaksa sesuatu yang gak bisa di paksa, El."
"Gue cuma minta kita jalani ini dulu."
"Jalani terus saling berpisah? Luka gue udah cukup banyak, El. Gue gak mau nambah luka baru."
"Lo cuma kemakan rasa takut lo, Kania."
"Iya, gue takut. Salah kalau gue takut?"
"Berlebihan, tau gak?"
"Terserah lo mau bilang apa. Sekuat apa 'pun lo memaksa, kita gak akan pernah bersama."
Kania melangkah keluar dari ruang kelas, meninggalkan Gael dengan emosinya yang tertahan.
"Arghh! Bangsat!"
Brakh!!
Kania dapat mendengar erangan dan keributan itu. Gael menendang kursi dengan keras. Kania juga terluka, mereka berdua sama-sama terluka. Namun ini yang terbaik, karena sekuat apa 'pun mereka paksa, semua tak akan nyata.
Mereka tak akan bersama, karena itulah takdirnya.
Kania tak ingin jatuh terlalu dalam.
Melupakan hanya sebuah waktu, biarlah Kania menunggu sampai waktu itu tiba dan ia melupakan segalanya.Termasuk luka akan kehilangan Khayla.
* * * *
A/n:
Follow ig & tiktok: allunasshi
See you at next chapter ♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Dia Perempuan. | END |
Teen FictionBagaimana jadinya jika kamu, terlahir sebagai seorang perempuan tetapi tak pernah diharapkan? Hadirmu nyata namun semu. Akankah kau sanggup untuk bertahan hingga mendapat pengakuan?. Permasalahan remaja tak melulu tentang cinta, ada juga tentang mer...