48. Bahagia dan Luka

105 19 0
                                    

-Bahagia Dan Luka-

* * * *

Rumah duka di penuhi banyak orang berpakaian hitam. Kania terduduk di samping peti Khayla, memeluk benda mati itu sudah tiga jam lamanya. Khayla akan segera di kebumikan, tapi Kania masih enggan untuk beranjak. Matanya sudah sembab, banyak tamu menatap prihatin padanya.

Setulus itu persahabatan mereka. Arumi yang juga menghadari pemakaman hanya diam memperhatikan puterinya. Di samping wanita itu ada Rangga, cowok itu menatap kosong ke arah foto Khayla yang ada di atas peti mati. Sinyal SOS dari Kania yang masuk ke dalam ponselnya, menjadi trauma dalam hidupnya.

Gadis yang ia cintai pergi tanpa pamit. Padahal ia sudah menyiapkan hadiah indah untuk ia berikan pada sang kekasih hari ini. Namun takdir berkata lain, tuhan membawa sang dayita jauh dari pandangan atma. Tubuh kaku Khayla ia temukan, dengan Kania yang tak sadarkan diri memeluk gadis itu. Dua wanita yang ia cintai sama-sama terluka.

"Kania, Ma." Rangga berkata getir. Arumi membawa cowok itu ke dalam pelukannya. "Bayangin gimana trauma nya Kania, Ma. Dia nemuin Khayla tergantung di sana. Khayla yang selalu ada buat dia sekarang pergi untuk selamanya." Rangga terisak, tak peduli dengan sekitar.

Arumi menyeka air matanya, wanita itu juga masih tak menyangka. Rasanya, tak terlalu lama ia berjumpa Khayla di rumah sakit malam itu. Gadis itu yang menjadi satu-satunya rumah untuk Kania, di saat dia mencampakkan Kania. Khayla yang selalu ada di samping Kania dan membantu gadis itu bangkit dari keterpurukan ternyata menyimpan luka yang begitu besar.

Terimakasih sudah mendampingi Kania, dan terimakasih juga tidak membawa putri saya. Tenang di sana, Khayla.

"NGGAK! DIA BELUM MATI! KHAYLA BELUM MATI! DIA CUMA TIDUR. JANGAN GANGGU DIA BISA GAK!?" Kania berteriak saat beberapa petugas hendak membawa peti Khayla untuk segera di bawa ke pemakaman setelah beberapa tradisi selesai di lakukan tadi.

Arumi berlari menghampiri Kania memeluk gadis itu sebelum Kania bertingkah impulsif.

"KHAYLA ITU GAK MATI! DIA CUMA TIDUR. JANGAN GANGGU! TARUH BALIK PETINYA NANTI DIA BANGUN!"

"Ikhlas, Nak."

"Mama kenapa nyuruh aku ikhlas mulu sih?! Emang Khayla kenapa? Dia itu gak mati."

Isak tangis para keluarga dan kerabat pecah saat Kania berlari memeluk peti mati Khayla. "Khayla, mereka bilang lo mati gara-gara tidur mulu. Lo cuma capek 'kan? Lo janji sama gue bakal mati bareng, lo gak mungkin ingkar, 'kan?"

"Tante Jena, kenapa Khayla gak jawab? Petinya boleh di buka gak? Aku mau lihat dia lagi. Kalau dia sesak di dalam sana gimana?"

Jena tak sanggup melihat Kania, wanita itu membuang muka, memeluk Reynand yang terdiam dengan wajah penuh sesal.

"INI SEMUA KARENA OM REYNAND! KALAU OM GAK NUNTUT KHAYLA TERUS DIA GAK BAKAL MATI!"

"Kania, udah." Arumi memeluk Kania, mendekap tubuh gadis itu erat. Kania luruh ke lantai, dan Arumi setia memeluknya.

"Ma, Kania mau ikut Khayla."

Arumi menggeleng cepat. "Nggak, kamu gak boleh ikut. Mama mau perbaiki semua kesalahan Mama dulu."

"Tapi Khayla sendiri di sana, Ma. Khayla takut gelap."

Isak tangis saling sahut menyahut. Mungkin Kania adalah satu-satunya orang paling terpukul di antara semuanya. Kania benar-benar tak siap menjalani hari tanpa Khayla. "Kalau Mama benci aku lagi, gak ada Khayla yang meluk aku, Ma."

"Mama gak pernah benci kamu, Mama sayang sama kamu."

"Sama Khayla?"

Arumi mengangguk. "Mama juga sayang sama dia, tapi tuhan lebih sayang sama Khayla."

"Aku jahat ya sama dia, makanya tuhan bawa Khayla?"

"Nggak. Kamu gak jahat, ini takdir, Nak. Ikhlas ya?"

"Ikhlas gak ikhlas aku, Khayla tetap mati, Ma. Jadi aku gak mau ikhlas."

Reynand yang sedari tadi diam, berjalan mendekati Kania. "Maafkan saya."

Kania mengangkat kepala, menatap Reynand penuh benci yang tersirat jelas di kedua mata gadis itu. "Maaf? Kenapa minta maaf sama saya? Minta maaf sama Khayla sana." Kania melempar selembar kertas tepat mengenai wajah Reynand. "Baca! Sadar! Dia mati karena anda tuan Reynand yang terhormat!"

Reynand hanya diam, membiarkan Kania meledakkan semua amarahnya. "Anda terlalu sibuk meminta Khayla untuk menjadi sempurna, sampai lupa bahwa anda begitu penuh kekurangan." Kata-kata Kania sungguh menusuk ke dalam hati.

Kania bangkit dari luruh nya, mengambil foto Khayla yang di hiasi mawar putih dan salib. Berjalan di depan peti Khayla. "Gue antar lo sampai ke bulan, tunggu gue di sana."

* * * *

Terhitung lima hari sudah sejak Khayla ia temukan dengan leher tergantung di rumah pohon, dan sejak saat itu pula Kania enggan keluar dari kamarnya. Banyak pesan masuk ke dalam ponsel, namun Kania abaikan. Gadis itu menyibukkan diri dengan merevisi ceritanya, tak memberi celah untuk pikirannya kosong dan berkahir pada Khayla.

Tok ... tok ... tok ... .

Kania menoleh ke arah pintu.

"Kania, Mama boleh masuk?" terdengar suara Arumi dari balik sana, Kania bangkit dari duduknya berjalan menuju pintu.

"Iya, Ma."

Arumi melempar senyum, dengan tangan membawa nampan berisi makan malam untuk Kania.

"Lagi apa?" tanya wanita itu, mengikuti langkah kaki Kania yang berjalan ke arah balkon kamar.

"Baru selesai revisi novel, Ma."

Kania bersandar pada pagar pembatas, menatap bulan di langit. "Khayla lagi apa ya, Ma?"

Arumi meletak nampan yang ia bawa di meja balkon, menghampiri Kania dan mengelus surai pendek gadis itu.
"Lagi natap kamu, lihat, cantik ya dia." Arumi menunjuk bulan yang sedikit tertutup mega hitam.

"Iya, aku juga mau ke bulan." Arumi sontak menghentikan gerakan tangannya. Menatap Kania lamat. "Jangan sekarang ya, Nak?"

Entah Kania harus merasa senang karena Arumi yang kini menyayanginya, atau menangis karena belum ikhlas dengan kepergian Khayla. Kania mengangguk kecil, membuat senyum di wajah Arumi merekah.

"Ayo makan dulu, seharian di kamar mulu kamu." Kania mengangguk, duduk di kursi balkon, menerima suap demi suapan dari Arumi. Perlakuan Arumi juga sangat berbanding terbalik dari yang dulu. Kini wanita itu memberi kasih sayang adil antara dirinya juga Rangga. Arumi juga sudah meminta maaf pada Kania, dan gadis itu memaafkan.

Kemarin di sidang perceraian Arumi memenangkan hak asuh kedua anaknya, dengan syarat dari Megan agar Arumi membiarkan perusahaan di ambil alih olehnya. Arumi tak peduli dengan perusahaan itu, dengan butiknya yang sukses dan banyak anak cabang sudah cukup untuk memberi hidup mewah pada kedua anaknya.

Satu kebahagiaan datang dengan mengorbankan kebahagiaan lainnya. Kania sadar akan hal itu, mungkin hal inilah yang membuat Kania tak begitu senang. Bukannya tak bersyukur dengan hidup barunya. Ia hanya tak rela kepergian Khayla menjadi ganti untuk kebahagiaannya.

Semua terasa biasa saja karena gak ada lo di sini, Khay. Tuggu gue, ya?.

* * * *

A/n:

Follow ig & tiktok: allunasshi

See you at next chapter ♡♡

Karena Dia Perempuan. | END |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang