51. Ambang ke-putus asaan.

78 18 0
                                    

-Ambang Ke-putus Asaan-

* * * *

"Lo kenapa?" tanya Rangga, sepanjang perjalanan pulang gadis itu hanya diam. Menangis tanpa suara dengan air mata yang terus saja jatuh dari mata.

Kania enggan menjawab, ia hanya diam tanpa berkata sepatah kata 'pun. Setibanya di rumah, Kania langsung berlari memasuki kamarnya tertatih. Arumi yang melihat itu lantas menghampiri Rangga, guna bertanya apa yang terjadi pada Kania.

"Kenapa kakak kamu?" tanya Arumi, menyambut saliman dari Rangga.

"Aku gak tahu, Ma. Apa masih keinget Khayla?"

Arumi menghembus nafas lelah, ia sudah membawa Kania ke psikiater yang dulu selalu gadis itu datangi. Namun Kania masih sama seperti ini, berduka tanpa henti.

"Yasudah, kamu bersih-bersih sana, habis itu makan. Nanti biar Mama yang bicara sama Kania."

Rangga mengangguk, mencium kedua pipi Arumi sebelum mematri langkah menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Rangga menatap pintu kamar Kania sebentar. Gue aja belum rela sama kepergian Khayla, apa lagi lo, Kan.

Di dalam kamarnya, Kania duduk di bawah guyuran air dingin. Rasa perih menjalar ke area selangkangannya. Gadis itu menangis sesenggukan, memukuli kepalanya sendiri berharap ingatan akan kejadian tadi dapat ia lupakan.

Namun sial, bayang-bayang tubuhnya di gerayapi sebelum tak sadarkan diri oleh guru biadab itu masih jelas teringat. Kania merasa kotor, jijik, dan benci atas dirinya sendiri. Tidakkah ini berlebihan, tuhan?.

Kania pikir kepergian Khayla akan menjadi skenario terburuk dalam hidup nya, namun tidak. Tuhan tak begitu berbaik hati untuk Kania mendapat kebahagiaan yang abadi. Kehormatannya di ambil, mahkotanya di rampas. Tubuh nya tak lagi suci, melainkan kotor penuh dosa.

Kania membenci dirinya sendiri, kehormatan tubuh yang selama ini ia jaga telah di lucuti oleh gurunya, Rayanza. Bagaimana jika hamil? Bagaimana jika orang tuanya mengetahui? Bagaimana jika dunia mengolok-oloknya? Bagimana jika semua membencinya? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalanya.

Haruskah dia mati?

Dunia ini yang begitu kejam, atau dia yang tak pantas untuk sebuah kebahagiaan. Ia pikir setelah panjangnya lika-liku jalan yang ia tempuh akan perlahan membawanya pada sebuah kebahagiaan, namun ternyata ia tak pernah sampai ke tujuan. Rasanya tuhan selalu mempermainkan hidup Kania seolah gadis itu tak lain dan tak bukan hanya sebuah boneka kehidupan. Apakah tuhan harus begitu kejam? Mengapa tuhan tak membawanya saja? Kenapa harus mengleburnya sedemikian rupa, namun tak kunjung juga menjadi emas permata.

Rasanya Kania ini seperti sampah.
Sampah yang di daur ulang sedemikian rupa indahnya, akan tetap di sebut sampah.
Tak bisakah Kania menjadi emas, yang akan selalu di sebut emas walau ia terjatuh kedalam tumpukan sampah. Perunggu juga tak apa.

Kania mematikan shower yang mengguyur tubuhnya, membuka baju untuk segera mandi. Setelah mandi, Kania meringkuk di atas kasur, dengan kamar tanpa penerangan sedikit 'pun. Bahkan rembulan juga enggan untuk menampakkan wajah, apa Khayla kini membencinya?.

Tok ... tok ... tok ... .

Kania mengabaikan ketukan di pintu kamarnya, bergeming dengan air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia bendung.

"Nak, kamu kenapa?" suara Arumi memanggil dari balik sana.

Mama juga pasti bakal benci aku.

Rasanya baru kemarin ia mendapat kasih sayang dari Arumi, kini ia harus menghadapi kebencian itu lagi.

"Kak, lo gapapa?" Rangga memanggil dari luar sana.

Gua hancur, lebur, gak berbentuk.

Kania memaksa diri bangkit dari kasurnya, berjalan menuju pintu.

"Aku mau sendiri dulu, Ma." Ucap Kania, tanpa membuka pintu.

"Let's tell me why, baby."

"Not now, Mom. Aku cuma lagi mau sendiri."

"Do you wanna hug?"

Yes, i do ... god hug.

"Yes i do, but not now. Sorry."

"Don't hurt your self, oke?"

I can't promise, hopefully no.

"Iya, Ma."

Arumi menghela nafas lelah, di tatapnya Rangga yang tampak cukup gelisah. "Kamu istirahat aja, ya?" wanita itu mengelus lembut puncak kepala Rangga.

Cowok itu mengangguk, menurut untuk masuk ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar Kania.

"Kania, sebentar lagi Mama bawakan makan, ya?"

"Nanti aja, Ma."

Arumi lagi-lagi hanya bisa menghela nafas, beranjak pergi dari depan kamar Kania, kembali ke lantai bawah.

Kania terisak, memeluk lututnya, membenamkan wajah di sana. Selembar kertas masuk dari celah pintu, gadis itu mengambilnya dan menghidupkan lampu.

Jangan ngerasa sendiri, ada gue di sini.

Kania membaca kertas dari Rangga tersebut, membuka pintu kamar dan mendapati Rangga tengah duduk di depan pintu kamarnya menatap pintu kamar Kania.

"I need hug."

Rangga mengangguk, cowok itu bangkit dari duduknya, mendekati Kania dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Kania meredam tangisnya di dada Rangga, namun masih enggan bercerita tentang apa yang di lakukan Rayanza padanya di gudang olahraga tadi.

Ia juga sebenarnya tak ingat apa yang di lakukan pria itu, yang ia ingat hanyalah saat gadis itu terbangun bajunya sudah tak utuh lagi. Bercak darah mengering di lantai, dan beberapa memar kemerahan di tubuhntya.

"Kalau ada masalah cerita." Rangga mengusap lembut surai Kania. Gadis itu menggeleng, mengurai pelukan, lalu memaksakan senyum. "Thankyou for this hug, i wanna go to sleep."

"Good night, have a nice dream."

Kania mengangguk, kembali memasuki kamarnya, mengunci pintu dan mematikan lampu lagi. Kania duduk bersimpuh di depan pintu balkon, menatap langit yang tak ada sedikitpun cahaya. Entah itu kemerlap bintang, pesawat yang melintas, bahkan sinar rembulan. Semua hirap di telan mega hitam.

Hanya lampu halaman dan jalanan yang menjadi cahaya di tengah kegelapan malam dengan cahayanya yang temaram. Anila yang berhembus, juga kian menusuk tulang, namun Kania masih enggan beranjak dari sana. Hujan sebentar lagi akan turun, Kania tak lagi menyukai hujan. Karena ketika hujan datang, ia menghalau sang rembulan. Menyebabkan Kania tak dapat menemui Khayla.

"Gue harus terus berjalan, atau berhenti di tengah jalan?"

Kania menerawang jauh ke depan. Satu persatu rintik hujan mulai menyapa tanah. Bau petrikor yang dulu begitu menjadi candunya, mendadak tak lagi ia minati. Rinai hujan yang dulu menyembunyikan tangisnya, kini digantikan guyuran air dingin kamar mandi.

"Khayla, apa hidup di sana lebih baik dari dunia ini?"

Biasanya, ketika ia di lembah keputus asaan, tangan Khayla akan segera menarik nya keluar dari sana. Namun kini tangan itu sudah sirna. Tak ada lagi seseorang yang dapat Kania andalkan ketika ia di lembah kehancuran.

Apa ini cara tuhan untuk mempersatukannya kembali bersama Khayla?

Apa harus seperti ini tuhan?

Tidakkah ini terlalu kejam?

Jika ini memang cara tuhan mempersatukan kita lagi, gue anggap ini bukan sebuah tragedi.

* * * *

A/n:

Follow ig & tiktok: allunasshi

See you at next chapter ♡♡

Karena Dia Perempuan. | END |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang