47. Dia pergi.

126 20 6
                                    

-Dia Pergi-

* * * *

"Pak, cepetan sedikit bisa?" Kania bergerak gelisah di dalam taksi yang ia tumpangi. Entah kesalahan apa yang ia perbuat, sampai mobilnya 'pun mogok di tengah jalan.

"Udah dekat, Mbak."

Saat mobil berhenti, Kania langsung berlari keluar. "Makasih, ya Pak."
Segala doa ia rapalkan, dengan langkah gemetar ia memanjat satu persatu tangga yang tergantung.

"AAAAAA!!!"

Gadis itu memekik, luruh, tubuhnya luruh ke lantai kayu rumah pohon.

"Nggak! Nggak! Ini mimpi! NGGAK KHAYLA NGGAK!!!" Kania berteriak histeris, tak ada yang mendengar, bahkan taksi tadi sudah pergi dari sana. Dengan sisa tenaga yang ada, ia melepas ikatan tali di leher Khayla.

Brukh!!

Keduanya jatuh terjembab ke lantai. Kania memeluk Khayla erat. "Nggak, Khayla lo bercanda, 'kan?!"

Di guncangnya kuat tubuh yang tak lagi bersama ruh itu, belum kaku, karena ia pergi sekitar dua puluh menit lalu. Air mata Kania jatuh membasahi wajah Khayla yang di dekapnya. Kania menatap Khayla, tak ada rambut, wajah pucat, tubuh dingin dan begitu ringkih, nyaris tulang saja yang tersisa.

"Khayla, bangun. Lo janji bakal mati bareng sama gue!" tangis Kania begitu perih. Teriakannya mengudara, begitu menyakitkan, namun tak ada yang mendengar. Syam menjadi saksi bisu, betapa kehilangannya gadis itu.

Mata Kania tertuju pada sebuah kertas, di atas kertas itu juga ada buku diary milik Khayla. Dengan tangan gemetar, ia meraih kertas dan buku itu satu tangan, dan tangan lainnya masih memeluk tubuh tak bernyawa Khayla.

Isaknya semakin kuat saat membaca isi surat itu, beberapa kata luntur karena air mata Khayla saat menulis pesan itu tadi.

Hai, Kania.
Gue yakin lo yang bakal pertama kali baca pesan ini.
Maaf karena gue gak nepatin janji untuk pergi bareng sama lo.
Dunia lo perlahan membaik, dan gue rasa lo gak butuh gue lagi.
Lagipun, egois kalau gue bawa lo di saat lo mulai berhasil meraih mimpi.

Kania menggeleng kuat. "Gue butuh lo di setiap jalan gue, Khay."

Selamat karena satu persatu mimpi lo terwujud.
Terimakasih sudah menciptakan kita di dalam cerita itu.
Terimakasih sudah jadi sahabat terbaik gue.
Gue mohon jangan tangisi gue terlalu lama, gue gak pergi, gue di bulan.
Kalau lo rindu gue, lihat bulan.
Jangan macem-macem, gue memperhatikan dari bulan.
Jangan kaget kalau gue botak, gue kanker otak.
Stadium empat.

Kania memeluk Khayla kian mengerat, erangannya begitu nelangsa. "Lo kenapa gak pernah bilang ke gue, Khayla?!"

Maaf kalau gue gak pernah cerita sama lo.
Masalah hidup gue gak ada apa-apanya di banding masalah lo.
Gue malu kalau harus ngeluh ke lo.
Lo cukup lihat tawa gue aja, karena cuma itu yang gue pengen lo lihat.
Ini bukan salah lo, tolong jangan menyalahkan diri.
Ini semua keputusan gue, ini kemauan gue.
Dan juga, tolong sampaikan pesan ini ke Papa-Mama gue.
Gue gak benci mereka, gue cuma sedikit kecewa sama mereka.
Bilang kalau gue minta maaf karena gak bisa sepintar lo, dan gak bisa memberi nilai sempurna.

"Bodoh, lo emang bodoh! Kalau lo bilang, gue bakal ngalah. Gue pintar juga gak ada guna di mata orang tua gue."

Maaf kalau gue cuma bisa nyusahin.
Maaf kalau gue selalu mengecewakan.
Maaf kalau gue gak berguna.
Tolong bilang ke mereka untuk tidak menyalahkan diri atas kematian gue.
Bunuh diri atau nggak, gue juga bakal tetap mati.
Kanker di otak gue gak bisa di sembuhin.
Gue udah menjalani hidup selama 18 tahun ini dengan sangat baik, dan ini sudah cukup.
18 tahun sudah sangat berharga.
Sampaikan terimakasih gue ke mereka, gue sayang mereka.

"Sesakit ini, Khay. Sesakit ini, kenapa lo tahan sendiri?" Kania menatap Khayla di pelukannya. "Tidur lo damai banget, udah berapa lama pengen meluk bulan?" Kania tahu, Khayla tak akan pernah bisa menjawab pertanyaannya lagi.

"Harusnya gue sadar, sejak lo bilang pengen bebas kaya merpati, itu artinya ada yang gak beres dalam hidup lo. Maaf karena gue nganggap hidup lo baik-baik aja." 

Kania kembali membaca surat Khayla.

Dan untuk Rangga.
Makasih udah isi hati gue.
Maaf karena selama ini bikin lo risih sama sifat implusif gue.
Gue tau 'kok lo juga suka sama gue, mata lo gak bisa bohong.
Tapi tak peduli walaupun kita saling suka dan saling cinta, kita tetap gak bisa bersama.
Tuhan kita juga berbeda.
Jangan sedih, jangan tangisi gue.
Cari cewek yang lebih baik di sana.
Gue titip Kania.
Terimakasih udah mengisi hari-hari gue.
Gue pergi dulu.
Sampai ketemu di kehidupan lain.

"Gue gak rela!" suara Kania sudah parau, kepalanya pusing. Sangat pusing. Rasanya dunia Kania runtuh, hilang, lenyap bersama kepergian Khayla.

Kania merebahkan tubuh Khayla, lalu ikut berbaring di sebelah gadis tak bernyawa itu. "Lo dingin, gak? Gue dingin." Memeluk erat tubuh Khayla, memejam mata seolah meminta tuhan untuk ikut membawanya bersama Khayla.

Gadis itu menatap kalung di leher sahabatnya itu. "Gue minta ya, Khay? Dampingi gue di setiap langkah ini."  Kania membuka kalung di leher Khayla, meyimpannya di dalam saku piyama. Kania menekan tombol SOS di ponselnya, lalu ia biarkan begitu saja.
Memeluk erat tubuh Khayla, dengan tangis tanpa suara.

Khayla itu seperti separuhnya Kania, jika gadis itu tak ada, maka apa yang akan Kania lakukan? Bahkan untuk membuka mata lagi gadis itu enggan. Jika boleh memohon, Kania ingin tuhan membawanya juga.

Tuhan, bawa saya juga.
Dunia ini menyeramkan tanpa genggaman Khayla.
Jalan begitu jauh tanpa gandengan Khayla.
Malam begitu dingin tanpa pelukan Khayla.
Dan bahagia tak kan ada tanpa Khayla.
Jadi tolong, bawa saya juga.

Lelap.
Kania lelap dengan isaknya, memeluk erat tubuh Khayla yang perlahan mulai kaku. Ia tertidur karena terlalu banyak menangis.

Kehilangan Khayla adalah mimpi terburuk nya. Tanpa Khayla, dunia akan sangat menyeramkan. Kania merindukan Khayla.

Tawanya, senyumnya, teriakannya, pelukannya, semangatnya. Semuanya. Semua tentang Khayla, ia rindu. Benar-benar rindu. Kania sungguh berharap matahari tak pernah menyingsing. Biarkan saja seperti ini. Ia belum siap untuk menjalani hari esok.

Hari esok, tanpa sosok Khayla?.

Ia tak mungkin bisa.

Banyak orang yang bersikap seolah hidupnya baik-baik saja. Selalu memperlihatkan tawa, seolah tak terjadi apa-apa. Hanya diam, dan memendam semua seorang diri. Sampai akhirnya mati.
Entah itu raganya yang mati, atau semangatnya yang mati.

Semua itu tidaklah benar.
Cobalah untuk jujur pada diri sendiri.
Jika lelah berhenti saja, jangan paksakan. Jika tak nyaman, tolong katakan. Bahumu terlalu kecil untuk memikul semuanya sendiri. Jangan paksakan, kamu tak harus melakukan ini sendirian. Dengan genggaman tangan seseorang, dunia akan sedikit indah.

Tolong mengeluh.
Tolong bertahan.
Tolong jangan mati, entah itu raga mu, atau semangat mu. Kedua nya itu penting.
Hidup mu bukan hanya tentang dirimu sendiri.
Kamu tak ada hak mengakhiri hidup yang bukan milikmu.

Khayla sudah bebas. Tak ada lagi yang membelenggunya. Gadis itu damai, meninggalkan luka mendalam untuk Kania.

Malam ini, satu nyawa lagi pergi secara keji dengan cara mati bunuh diri. Apapun alasannya, ini bukan langkah yang benar. Jika kamu berada di ambang keputus asaan, tolong minta tangan seseorang untuk kau genggam.

* * * *

A/n:

Follow ig & tiktok: allunasshi

See you at next chapter ♡♡

Karena Dia Perempuan. | END |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang