Aisyah menatap lingkungan baru yang akan di tempatinya dengan asing. Gadis itu menghela nafas kasar, menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tidak semudah yang di bayangkan terlebih ini akan dua puluh empat jam memakai hijab sedangkan dia menggunakan hijab juga saat dia akan keluar saja sedangkan di rumah tidak.
Membayangkan saja sudah ingin membuatnya menangis, disaat membayangkan hal itu ia terkejut karena tepukan pelan di bahunya. Ternyata mereka sudah sampai di kediaman pemilik pesantren ini.
Semua perhatian para santri tertuju ke arah Aisyah dan keluarganya, mendapat tatapan seperti itu membuatnya sedikit risih. Gadis itu terus mengikuti kedua orang tuanya, sampai seorang wanita paruh baya membukakan pintu dan mempersilahkan mereka masuk.
Aisyah menelisik ke seluruh rumah itu, ia menatap kagum dari luar tampak biasa tapi di dalamnya terlihat sangat sejuk dan nyaman. Satu hal yang gadis itu cari, dimana letak sofanya? kenapa ia tidak melihat sama sekali sofa di sini hanya ada karpet yang di gelar di lantai.
"Silahkan duduk, Abah masih ada di masjid" ucap wanita paruh baya itu. Kedua orang tua Aisyah duduk di bawah, gadis itu hanya menatap ke dua orang tuanya bingung, "Kenapa nak, ayo duduk gak papa" ucap wanita itu menatap ke arah Aisyah.
Aisyah hanya tersenyum canggung, dan ikut mendudukkan dirinya di samping sang Mama, "Ini anak kalian yang ingin mondok di sini?" tanya wanita itu lagi.
Elena tersenyum, "Iya, mohon bimbingannya ya. Anaknya agak nakal, susah di atur kalau dia gak mau nurut pukul aja gak papa" ujar sang Mama
Aisyah melotot, "Mama apaan sih" ujar Aisyah tidak suka
"Tukan kamu liat sendiri, anaknya ngelawan kalau di kasih tau" Aisyah menatap ke arah lain, kenapa seakan Mamanya itu ingin menjatuhkan harga dirinya.
"Gak papa wajar kok kalau di umur segini, dulu Hanifah mudanya juga kaya gitu" ujar wanita itu.
"Ya beda dong, kalau Hanifah dia kan masih ada tutur katanya yang lembut dan sopan. Kalau Aisyah mah beda, dia sukanya ngegas bahkan sama orang tuanya sendiri" Aisyah seakan tidak memperdulikan ucapan dari dua orang itu, tapi tidak hatinya, karena nyatanya setidak peduli pun hatinya tetap terluka ketika Mamanya sendiri membandingkannya dengan orang lain.
Pembicaraan dua orang itu terus berlanjut, dan kebanyakan Mamanya yang membandingkan dia dengan gadis bernama Hanifah itu. Bahkan ia sendiri tidak tau siapa Hanifah itu, tapi Mamanya terus saja membandingkan dia dengan orang itu.
"Assalamualaikum" semua orang menoleh ke arah pintu.
Aisyah menatap orang itu kagum, sebab wanita itu terlihat sangat anggun dan cantik. Menggunakan gamis berwarna coklat dan juga hijab wanita itu yang panjang. Aisyah melihatnya merasa gerah, tapi tidak bisa di pungkiri betapa anggun dan cantiknya wanita itu.
"Hanifah, sini" Aisyah tersenyum hambar, ternyata ini yang namanya Hanifah pantas saja Mamanya terus saja membandingkan dirinya dengan gadis itu, ternyata semuanya memang sangat berbeda.
Hanifah menyalami semuanya kecuali Aditia, wanita itu menangkupkan tangannya di dada. Untuk kesekian kalinya Aisyah terkagum dengan wanita itu.
"Ning, panggil Abah kamu di masjid" Hanifah mengangguk, "Iya, Umi" wanita itu langsung berpamit untuk memanggil sang Ayah.
"Tuh lihat kalau di suruh langsung berangkat jangan bentar-bentar" sindir sang Mama dengan berbisik.
Aisyah hanya memutar bola matanya malas, tidak membutuhkan waktu lama untuk Hanifah memanggil sang Ayah. Hanya butuh waktu sepuluh menit wanita itu kembali dan bersama sang Ayah tentunya.
Setelah berbincang-bincang panjang dan kedua orang tua Aisyah menitipkan putri mereka kepada pesantren ini, Umi menyuruh Hanifah untuk mengantar Aisyah ke asrama dan juga untuk menemani gadis itu melihat-lihat pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisyah, ku [END]✓
Teen FictionFollow dulu sebelum baca ya ✓ *** Bercerita tentang seorang gadis bar-bar yang menikah dengan seorang Gus