Gugup, itulah yang Zidan rasakan ketika sambungan telfon tersebut tersambung. Jantungnya semakin berpacu cepat, di kala suara lembut dari sebrang mulai menyapa indra pendengarannya. Hatinya berdesir. Sudah lama ia tidak mendengar suara itu lagi, setelah tiga bulan lalu gadis itu meminta izin untuk melanjutkan kuliahnya ke Mesir.
"Assalamualaikum, Ustadz?"
Zidan terdiam sejenak untuk menahan degup jantungnya yang kian memburu, "Wa-wassalamu'alaikum..."
"Ada apa Ustadz, bukankah di sana sudah tengah malam?" Pertanyaan itu terlontar, membuat Zidan terdiam tidak tau akan menjawab bagaimana. Tidak ada alasan lain, ia hanya ingin mendengar suara lembut itu.
"Masih memanggil saya Ustadz?" Zidan mencoba mengalihkan pembicaraan, terlalu bingung untuk mengatakan alasannya menelfon gadis itu--gadis yang telah menjadi tunangannya lima bulan lalu.
Di sana, Zahra tersenyum meski Zidan tidak bisa melihatnya dari sini, sebuah senyuman yang tidak ada seorang pun yang tau dari arti senyuman itu. Yang jelas itu bukan sebuah senyuman kebahagiaan.
"Tidak sopan Ustadz.."
"Zahra, bukankah kita sudah bertunangan?"
"Maaf..."
Zidan menghela nafas pelan, berusaha untuk memahami gadis itu, "Tidak apa, senyaman kamu. Tapi bolehkah saya meminta jika nanti kita sudah menikah, jangan memanggil saya Ustadz, bisa?"
Zidan mengatakannya dengan lembut, bukankah seharusnya Zahra merasakan sebuah ketenangan dengan suara itu? lantas kenapa, kenapa air matanya justru menggenang di pelupuk matanya,kenapa rasanya menyakitkan?
"Zahra...?" Zidan kembali bersuara, karena merasa jika tidak ada sahutan dari sebrang.
"Aku usahakan.."
"Bagaimana kuliah kamu di sana? lancarkan?"
"Alhamdulillah, Ustadz apa kabar?"
"Saya baik, kamu?"
"Baik, aku dengar Aisyah sekarang tengah mengandung ya?. Alhamdullilah, setelah penantian Aisyah selama ini akhirnya Allah memberikan kepercayaan untuknya dan Gus Agam" Ujar Zahra dengan rasa bahagia yang menyelimutinya.
Tanpa Zidan sadari kini sebuah senyum tipis tercetak di wajah tampannya, kala mendengar suara Zahra yang terlihat ceria.
"Iya, saya juga sangat senang karena sebentar lagi saya memiliki keponakan yang lucu" Zidan terkekeh, begitu juga Zahra di sebrang sana. Tidak bisa berbohong jika ia sangat bahagia mendengar kabar jika Aisyah tengah mengandung.
"Zahra..."
"Iya?"
"Kamu tidak ingin mempercepat pernikahan kita?"
Hening, tiba-tiba hening Zidan tidak mendengar suara Zahra lagi. Gadis itu seakan lenyap entah kemana.
"Tidak apa jika kamu belum siap, kita tidak perlu terburu-buru. Maaf, mungkin pertanyaan saya membuatmu tidak nyaman" Zidan buru-buru kembali bersuara, ia tidak ingin membuat gadis itu merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya.
"Ustadz...selesaikan masalalu mu terlebih dahulu ya." Tubuh Zidan menegang, kenapa Zahra tiba-tiba membahas masa lalunya, dan darimana gadis itu mengetahui mengenai masa lalunya. Seingatnya ia tidak pernah menceritakan hal itu pada gadis itu.
"Za--"
"Aku tau kamu belum sepenuhnya selesai dengan masalalu mu, maka dari itu selesaikan terlebih dahulu masalalu mu. Jika sudah, maka kita bisa menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisyah, ku [END]✓
Teen FictionFollow dulu sebelum baca ya ✓ *** Bercerita tentang seorang gadis bar-bar yang menikah dengan seorang Gus