Pagi-pagi sekali Aisyah dan Agam sudah membersihkan rumah mereka yang jaraknya tidak jauh dari rumah Ndalem, hanya berjarak dua puluh meter dan juga masih berada di lingkungan pesantren.
"Ais kalau kamu lelah istirahat saja, nanti biar saya yang melanjutkannya" Sahut Agam dari arah dapur membawa kain basah.
"Ais gak papa Gus" Ucap Ais, ia tidak papa hanya sedikit merasa nyeri.
Agam khawatir karena beberapa kali melihat istrinya itu meringis, tanpa menunggu lagi Agam langsung menggendong tubuh Aisyah menuju ke kamar, menimbulkan pekikan kaget dari Aisyah.
"Heh lo mau ngapain!" Seru Aisyah panik, ini masih pagi ya.
Setelah meletakkan tubuh Aisyah di tempat tidur dengan hati-hati Agam mendorong kening Aisyah pelan, "Pikirannya tidak usah ke mana-mana, saya tau kamu menahan sakit maka itu kamu istirahat saja di kamar biar saya yang membersihkan rumah"
"Tapi..."
"Tidak apa, tinggal sebentar lagi akan selesai" Ucap Agam membuat Aisyah mengangguk pasrah.
Laki-laki itu mengusap belakang kepala Aisyah dan setelah itu keluar menyelesaikan urusannya membersihkan rumah. Sebenarnya ini tidak terlalu kotor juga, sebab beberapa kali para santri kesini untuk membersihkannya.
Ini adalah rumah yang sudah Abi siapkan untuk Agam dan istrinya saat Agam sudah menikah nanti, dan sekarang putra bungsunya sudah menikah maka rumahnya akan di tempati oleh Agam dan istirnya, Aisyah.
Acara bersih-bersih sudah selesai, Agam mendudukkan dirinya di kursi ruang tengah, mengelap keringat yang bercucuran di dahinya. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar, sampai sebuah usapan di dahinya membuatnya terjaga.
Sebuah senyuman terbit di bibir Agam, saat melihat Aisyah sudah berada di hadapannya dengan telaten mengelap keringat Agam yang bercucuran di dahinya.
"Capek ya?" Bukan menjawab Agam justru tersenyum.
"Maaf.."
Agam mengambil tangan Aisyah yang ada di dahinya untuk ia genggam, "Jangan pernah mengatakan maaf, ini juga sudah menjadi bagian seorang suami membantu istrinya membersihkan rumah." Jelas Agam.
"Gue ambilkan minuman ya Gus?" Aisyah sudah ingin bangkit, tapi Agam menahannya dan menyuruhnya untuk kembali duduk di sampingnya.
Aisyah hanya menatap Agam, "Boleh saya meminta satu hal darimu?" Tanya Agam.
Meski dengan kebingungan Aisyah tetap mengangguk, "Boleh saya minta kamu jangan memakai lo gue dan juga jangan memanggil saya Gus?"
"Trus kalau gitu gimana manggilnya?"
"Senyaman kamu, Mas boleh, Abi boleh, sayang juga boleh" Ucap Agam, ia terkekeh saat melihat Aisyah langsung memukulnya.
"Modus!"
"Loh saya benar, senyaman kamu mau memanggil saya bagaimana. Kalau sayang jauh lebih baik." Ucap Agam membuat Aisyah memutar bola matanya malas.
"Kalau mau manggil Abi kan kita belum punya anak"
"Manggil Abi-nya nanti saja kalau begitu, saat kita sudah di karuniai seorang anak." Ucap Agam tersenyum simpul.
Aisyah mengangguk malu-malu dan memunculkan semburat warna merah di kedua pipi Aisyah, itu adalah salah satu yang Agam sukai dari Aisyah, semburat warna merah yang ada di kedua pipi Aisyah.
Aisyah sempat berfikir sebentar, "Kalau manggilnya, By. Boleh gak?"
Kedua dahi Agam mengerut, "Kenapa By?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisyah, ku [END]✓
Teen FictionFollow dulu sebelum baca ya ✓ *** Bercerita tentang seorang gadis bar-bar yang menikah dengan seorang Gus