~Bagian Sembilan

23K 1.5K 133
                                    

Aisyah terbangun dari tidurnya saat mendengar ketukan pintu dari luar. Kedua matanya terbuka, ini adalah pertama kalinya ia tertidur dengan nyenyak selama di pesantren ini. Terlebih aroma dari laki-laki itu yang masih tertinggal di dalam kamar membuatnya merasa nyaman. Semalam, Agam benar-benar membawanya ke Ndalem dan menyuruhnya tidur di kamar laki-laki itu, sebelum itu Agam meminta izin kepada Umi, Kyai dan Ning Hanifah. Semuanya mengizinkan, dan berakhir ia tertidur di kamar laki-laki itu.

"Ais, bangun dulu yuk. Kita sholat subuh bareng ke masjid" Suara itu membuat Aisyah terbangun, meraih hijabnya di kursi dan memakainya.

"Ais cuci muka dulu" Jawab gadis itu setelah membuka pintu kamar dan langsung berhadapan dengan Ning Hanifah yang sudah rapi dengan mukena. Ning Hanifah mengangguk, menunggu Aisyah yang masih bersiap.

Aisyah sudah kembali dengan mukena milik Ning-nya itu, mereka sama-sama berjalan menuju masjid. Hanya keheningan di antara keduanya, tidak ada yang membuka suara sampai mereka tiba di masjid dan melaksanakan sholat subuh.

Ning Hanifah dan Aisyah kembali ke Ndalem, pagi itu Aisyah langsung membereskan Ndalem menyelesaikan tugasnya menjadi santri Ndalem tanpa ada penawaran dari gadis itu seperti biasanya.

Aisyah kembali ke asrama setelah menyelesaikan tugasnya, saat ingin kembali ia berpapasan dengan Hana. Aisyah menghadang jalan Hana, "Lo juga ikut benci sama gue?" Hana tidak menjawab, ia melewati tubuh Aisyah namun perkataan dari gadis itu menghentikan langkahnya.

"Lo suka sama Ustadz Zidan kan?" Hana terdiam tanpa ingin menjawabnya, "Tenang aja gue gak bakal ambil Ustadz Zidan kok, dan inget gue bukan gadis murahan yang suka merebut milik orang lain"

"Gue kira lo gak kaya mereka, tapi nyatanya sama saja. Munafik "Ucap Aisyah lagi, setelah itu pergi meninggalkan Hana yang masih mematung.

****

Hari ini Aisyah mendapat giliran memasak di dapur dengan tiga santri lainnya. Sedari tadi ada saja yang ingin mencari gara-gara dengannya, namun Aisyah sama sekali tidak menanggapinya tubuhnya terasa lemas, ia merasa kurang enak badan.

"Ni, lo bagian yang belanja ke pasar" Seorang santriwati melempar selembar kertas dan beberapa lembar uang warna merah ke arah Aisyah.

Aisyah menatapnya malas, "Lo gak liat gue lagi ngapain, masih ada mereka yang gak ngapa-ngapain. Suruh aja mereka yang belanja" Aisyah melirik kearah dua santri yang hanya berdiam diri dengan memainkan kuku-kukunya.

"Lo mau ngelawan, di sini gue ketua pengurus dapur. Jadi lo harus nurutin permintaan gue, lo mau gue laporin ke Ustadzah biar lo kena sanksi!" Aisyah berdecak, mengambil kertas dan uang di depannya dengan kasar.

"Inget jam sembilan lo harus udah balik, awas aja kalau sampek terlambat!" Teriak santri itu, karena jarak Aisyah yang semakin menjauh.

"Bacot" Balas Aisyah dengan terus menggerutu, ia kesal setengah mati. Tanpa melihat kanan kiri Aisyah menendang sebuah kaleng yang ada di depannya, dan tanpa ia duga kaleng itu mengenai seseorang.

Tak!

"Anjing, siapa yang udah lempar gue!!" Aisyah meringis, antara takut dan khawatir. Sebab kaleng itu mengenai seorang laki-laki yang bertubuh besar dan di samping orang itu juga ada dua orang yang sama seperti orang itu, bertubuh tinggi dan berbadan besar. Bahkan salah satunya memiliki banyak tato di lengannya. Sepertinya mereka preman pasar.

"Mati lo Ais" Lirih Aisyah, ia dengan berhati-hati mundur ingin kabur dari sana namun keburu tiga orang itu melihatnya. "Woy, lo kan yang udah lembar gue pakek kaleng!!" Ucap lelaki itu dengan murka.

Aisyah, ku [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang