PART 6

2.4K 173 10
                                    

“beresin barang kamu dan pindah dari sini,”

Sebelum meninggalkan apartemen untuk membuat laporan di kantor polisi Bara memintaku untuk berkemas, aku mengambil koper yang lebih besar dan memasukkan segala perlengkapan pribadiku.

“loh, ini aku sewanya masih empat hari lagi mas,” Bara menggeleng tegas lalu keluar dari mobil, akupun mengikutinya.

“setelah kejadian tadi saya nggak mau ada kejadian yang lainnya, kamu pindah, saya tahu tempat paling aman untuk kamu sekarang,”

Mobil Bara berhenti disebuah hotel bintang lima, “disini buat kamar standarnya per malam aja lebih dari tiga juta loh mas , uang aku di rekening nggak akan cukup,”

Bara melepaskan seatbelt dan menatapku “kita makan dulu, kamu belum makan kan?”

“setelah semua yang terjadi hari ini menurut mas aku masih bisa makan?”

“harus bisa, tubuh kamu butuh energi,” tangan Bara terulur dan melepaskan seatbeltku “ayo”

Akhirnya kami berdua masuk ke dalam hotel, Bara langsung masuk ke dalam lift, begitu aku melihat angka yang ditekan Bara mataku membulat seketika.

“kita mau ke The World?” Bara mengangguk sambil fokus dengan ponselnya “aku gembel kayak begini mas, mana mungkin boleh masuk, aku ganti baju dulu ya?”

Bara menyimpan ponselnya ke dalam saku lalu menatapku “nggak usah, peraturannya kan cuma nggak boleh pake kaos, celana pendek dan sendal, sedangkan kamu pakai dress dan juga sepatu,”

Apakah Bara memang tidak bisa membedakan antara dress dan daster? Sepertinya aku harus meminta Kalila untuk membawa Bara ke dokter spesialis mata.

Oh my God, aku hanya mengenakan sebuah daster sepanjang betis yang kulapisi dengan kardigan rajut dan aku tidak mengenakan make up sama sekali bahkan rambutku hanya diikat secara asal-asalan.

Dengan cepat aku melepaskan ikat rambut dan menyisir rambutku dengan jari, beruntungnya di dalam sling bag yang kubawa aku menemukan compact powder dan juga lipbalm.

“kamu nggak dandanpun nggak akan diusir,” aku melirik Bara dengan tatapan kesal dan melanjutkan merias diri, “mas mana ngerti harga dirinya perempuan sih, disini itu kita dinilai dari apa yang kita pake, artis-asrtis kalo kesini aja dandannya all out, apa lagi outfitnya,”

“kita di sini untuk makan bukan untuk dinilai, di sini restoran bukan ajang untuk fashion show,” sudahlah, percuma saja mendebat Barata Mahawira.

The World adalah satu sky dining termewah di Jakarta, pengunjungnya jelas kaum elit, bahkan beberapa artis papan atas datang kemari, aku tidak bisa membayangkan bagaimana tatapan orang-orang ketika melihat penampilanku nanti.

Setidaknya aku bersyukur tas dan sepatu yang kupakai dari brand ternama, meskipun bukan sekelas brand LV, Dior, Chanel maupun Hermes, tapi setidaknya apa yang kupakai ini bisa menunjang penampilanku meski aku hanya mengenakan daster.

Beruntungnya aku diperbolehkan masuk, tetapi ketika memasuki area restoran aku benar-benar merasa mati kutu, semua perempuan yang ada di sini pakaiannya modis sekali, banyak yang mengenakan dress dan juga full make up.

Bagaikan langit dan bumi, aku benar-benar merasa salah kostum, setelah kemarin aku berdandan habis-habisan tetapi berakhir di rumah makan masakan Padang.

Sekarang ketika aku tanpa persiapan apapun Barata Mahawira membawaku makan di restoran termewah di Jakarta, sungguh seorang manusia yang tidak pernah bisa diprediksi kelakuannya.

Aku berusaha untuk tidak memerdulikan keadaan sekitar, mencoba untuk bersikap anggun, sembari menunggu pesanan kami Bara terlihat sibuk dengan ponselnya sedangkan aku lebih menikmati melihat pemandangan kota Jakarta saat matahari masih bersinar terang.

Sebelumnya aku kemari saat malam hari dan pemandangannya sungguh menakjubkan, dan hari ini pun pemandangannya juga bagus, melihat kota Jakarta dari lantai enam puluh tujuh bukankah begitu menakjubkan?

Selain itu steik disini menurutku adalah steik dengan rasa terbaik yang pernah aku coba di Jakarta, rasa daging yang dilumuri saus begitu meleleh dimulutku.

“suka?” sepertinya Bara menyadari jika aku begitu menikmati setiap potongan daging yang berlumur saus kecoklatan itu.

Kuanggukkan kepalaku sebagai jawaban karena mulutku sudah penuh dengan potongan daging. Bara mengulum senyum “mau tambah?” aku melirik isi piringku yang tinggal sedikit.

Oh My God

Aku hampir menghabiskan lima ratus gram daging sendirian, Bara pasti akan berpikir jika aku ini perempuan yang rakus.

“mas pasti mikir kalo aku ini rakus,” Bara menggeleng “saya suka lihat kamu makan dengan lahap begini bukan cuma diacak-acak aja,”

Karena dulu aku ini sering sekali telat makan hingga akhirnya aku memiliki penyakit GERD makanya sekarang meski aku tidak terlalu lapar, disaat jam makan aku akan tetap makan meski terkadang hanya beberapa suap saja.

Bara jelas tahu kebiasaanku karena tak jarang disetiap kami makan bersama aku selalu terlihat mengacak-acak piringku, bahkan terkadang dalam satu piring aku hanya memakan tiga suapan.

Tapi sekarang aku benar-benar terlihat seperti perempuan rakus, gagal sudah menjaga image ku di depan Barata Mahawira.

“habiskan Cha,” kuurungkan niatku untuk  meletakkan pisau dan garpu ketika Bara menatap tajam kepadaku.

Akhirnya piringku yang tadi berisi daging dan sayuran kini sudah kosong hanya menyisakan sisa saus, aku sampai merasa kekenyangan, begitu piring kami kosong waiters dengan cepat membersihkannya dan menaruh dessert berupa puding dan gelato.

Aku menatap puding dan gelato secara bergantian, puding buahnya cantik sekali begitu pula dengan gelatonya, aku membayangkan rasa gelato yang akan meleleh di dalam mulutku, tanpa perlu dikomando tanganku terulur dan mengambil sendok.

Lembut dan dinginnya puding membuatku tidak bisa berhenti untuk memakannya, dan begitu tatapanku beradu dengan Bara aku hanya memasang senyum seperti orang bodoh.

Masa bodoh lagi dengan penilaian Bara terhadapku toh aku sudah gagal menjaga image sejak makan steik tadi.

“sepertinya saya harus sering bawa kamu ke tempat seperti ini,”

Hampir saja aku tersedak karena ucapan yang dilontarkan oleh Bara “aku keliatan kayak perempuan matrealistis ya mas?”

Bara mengerutkan keningnya dan menatap tidak suka kepadaku.

“saya yang ajak kamu bukan kamu yang minta sama saya untuk makan di tempat seperti ini,”

“tapi ucapan mas bikin aku ngerasa kalo aku lebih suka diajak ke tempat seperti ini,”

“kayaknya kamu emang harus berhenti nulis novel supaya pemikiran nggak jelas kamu itu bisa hilang,”

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang