Part 21

2.6K 158 0
                                        

Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit ketika mama menelepon,tidak biasanya mamaku menenelepon larut malam seperti ini.

"assalamualaikum ma,"

"waalaikumsalam, ya ampun Ocha kenapa nggak bilang kalo calon mertua kamu mau datang kesini? Mama sama papa kaget waktu mereka datang tadi,"

"loh orang tua mas Bara ke rumah?"

"kamu nggak tahu?"

"iya, mas Bara emang tadi ngelamar aku tapi nggak bilang kalo orang tuanya ke Semarang buat ketemu mama sama papa,"

"yasudah kalau kamu nggak tahu, mama kaget loh beneran kaget,mama pikir kamu nggak ada rencana buat nikah,mama sampai doain kamu terus pas umrah kemarin, alhamdulillah Allah ijabah doa mama, kayaknya mama sama papa akhir bulan ini mau umrah lagi mau doa biar pernikahan kamu sama Bara nanti lancar,"

"ikut dong ma,"

"kata papa Bara kamu mau jadi saksi sidang akhir bulan ini, sementara lamaran resminya bulan depan jadi mama sama papa harus buru-buru umrahnya, nanti kalau sudah sah aja kita umrah sekeluarga,"

"saksi sidang?"

"iya, kamu nggak tahu juga?"

"enggak, udahan ya ma aku mau telepon mas Bara dulu,"

Setelah mendengar suara salam mama aku segera memutus telepon dan beralih menelepon Bara, tapi tidak diangkat.

"saksi sidang? Jangan-jangan sidang om Redi, no no no aku nggak mau ketemu dia, nggak, nggak mau,"

Bara masih juga tidak menghubungiku kembali sedangkan aku sudah cemas, aku menunggu balasan telepon Bara hingga akhirnya aku tertidur karena terlalu lelah.

Matahari sudah tinggi ketika aku membuka mata, saat merenggangkan tubuhku aku menyadari sebuah kotak beludru berwarna safir.

Dengan kening berkerut aku merubah posisi menjadi duduk dan bersandar di headboard, kuraih kotak itu dan membukanya, terdapat lima buah cincin yang bertahtakan permata, permatanya sangat cantik.

Kucoba kelima cincin itu satu persatu, semuanya sangat pas dengan jemariku,tapi pilihanku jatuh pada sebuah cincin dengan permata yang tertanam sekilas seperti cincin pertunangan atau pernikahan.

Tapi cincin ini memang sangat nyaman karena bagian pinggiran permatanya halus sehingga jika dipakai tidak akan menggores baju ataupun tas.

Kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum mencari Bara tapi ketika melihat jam digital yang sudah menunjukkan pukul sembilan kuurungkan niatku untuk mencari Bara dan lebih memilih untuk meneleponnya.

Sayangnya panggilanku tidak dijawab, mungkin Bara sedang sibuk saat ini.

Sepertinya hanya tinggal aku dan bi Sum di apartemen ini karena ketika aku mengecek kamar yang biasanya digunakan Kalila jika menginap di sini kosong.

Di atas meja makan sudah tersaji ikan bakar kecap, kangkung kukus beserta sambal ada pula empal gepuk, karena tidak memiliki teman makan aku mengambil nasi dan lauk lalu membanya ke ruang keluarga.

Kunikmati sarapan pagiku sambil menonton televisi yang menayangkan kartun Upin & Ipin mungkin terlihat sangat kekanakan tapi bagiku ini adalah hiburan.

Bagi sebagian orang usia tiga puluh tahun masih menonton kartun itu aneh dan tidak bermanfaat tapi bagiku ini adalah cara untuk melepaskan kepenatan.

"makannya jangan sambil nonton nanti nggak habis-habis," suara Bara membuatku menoleh, kudapati pria itu berdiri di tepi ruangan dengan memakai kemeja putih dan celana hitam.

"kok udah pulang?" Bara duduk di sampingku tangannya terulur mengusap sudut bibirku, "habis ini berangkat giat jadi pulang dulu ambil perlengkapan, habisin sarapannya saya siapin perlengkapan sebentar,"

Bara kembali ke ruang keluarga dengan membawa tas ransel berukuran sedang "pouch p3knya dibawa juga kan?" Bara mengangguk dan kembali duduk di sampingku.

Beberapa waktu yang lalu aku memberikan Bara pouch berisi obat-obatan dan juga minyak aroma terapi karena terkadang Bara melakukan giat selama berhari-hari dan di dalam ranselnya hanya ada baju dia terbiasa membeli yang lainnya.

"mau pergi lama?"

"iya, harus keluar kota, kamu mau tetap di sini atau ke rumah mama?" Bara menatapku dalam sambil mengusap lembut kepalaku, "di sini aja, oh iya cincin ini dari mas?" aku menunjukkan cincin yang kupakai di jari manis tangan kananku.

"iya, kamu suka?"

"suka, tapi mas kok banyak ngasihnya?"

"saya nggak tahu kamu suka yang mana jadi saya beli yang menurut saya bagus," jawaban Bara membuatku geleng-geleng kepala.

"oh iya mas kenapa nggak bilang kalo tante sama om mau datang ke rumahku? Aku sampai kaget semalem pas mama telepon," Bara menyelipkan tangannya di pinggangku dan menariknya membuat tubuhku kini ada di dalam rengkuhan Bara.

Dengan santainya Bara mengecup pelipisku "saya juga baru tahu pas mama udah sampai di sana, karena itu kamu nelepon saya berkali-kali semalam?"

Aku menggeleng dan menjauhkan kepalaku agar bisa menatap Bara "kata mama om Mahawira bilang aku mau jadi saksi, saksi apa?"

"jadi saksi korban kasus pelecehan Redi dan juga saksi kasus having sex Redi," kutatap Bara dengan wajah takut "aku bakalan ketemu dia? Aku nggak mau mas, aku takut,"

"saya akan temani kamu, ruangan sidang itu ramai, banyak orang dan Redi nggak akan berani ngapa-ngapain kamu, percaya sama saya," Bara menatapku dalam hingga akhirnya aku menghela napas dan memeluknya, kusembunyikan wajahku di ceruk lehernya.

"semuanya akan baik-baik saja, yang perlu kamu lakukan cukup percaya sama saya,"

Bara melepaskan pelukan kami dan dengan lembut bibirnya mengecup keningku turun ke hidung dan akhirnya memagut lembut bibirku "saya masih pengin cium kamu tapi saya harus berangkat sekarang," Ucapnya saat melepaskan pagutan kami membuat wajahku merona.

Selepas kepergian Bara senyum di wajahku masih terpatri, dengan perasaan bahagia aku mengambil gambar langit yang cerah secerah hatiku saat ini, tidak ada lima menit setelah aku memposting foto itu sebuah direct message masuk.

"halo Orisha, lama tidak berjumpa, aku baru aja pindah tugas ke polres Jakarta Timur, gimana kalau kita ketemu sore ini?"

Aku berdecak melihat pengirimnya, si Brigpol yang dulunya jelas-jelas mengatakkan jika aku ini tidak sebanding dengannya, lalu apa ini? Dia mengajakku bertemu? Apa karena dia melihat berita yang mengulas kesuksesanku sehingga dia mulai berpikir jika aku ini sepadan dengannya?

Aku memilih untuk mengabaikannya, tidak ada gunanya meladeni pria seperti itu, lagi pula saat ini aku sudah punya calon suami.

Meskipun aku tidak punya calon suami aku juga tetap akan mengabaikannya karena dari awal dia sudah menolakku bahkan merendahkanku karena profesi yang kugeluti.

Ucapannya kala itu sangat menyakitiku seolah-olah aku ini tidak berharga, padahal apapun profesi kita semua manusia itu sama di mata tuhan, dia bukan tuhan tapi kenapa dia bisa mengukur manusia hanya dari pencapaian serta koneksi yang dimiliki.

Dan sekarang aku mendapat calon suami yang pangkatnya jelas lebih tinggi dari dia, apa lagi latar belakang keluarga Bara yang sangat luar biasa.

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang