Pewaris Mahawira Group, Barata Mahawira yang bekerja sebagai polisi terjebak cinta lokasi dengan mantan finalis Puteri Indonesia yang saat ini menjadi anggota polwan, mereka berdua terlihat berjalan bersama keluar dari salah satu restoran mewah jakarta.
"panekuk lo gosong Cha," kuletakkan ponsel Kalila sembarangan dan terburu-buru mengangkat penggorengan hingga punggung tangan kananku tidak sengaja terkena panci sup.
"awww"
"ya ampun Cha," buru-buru Kalila mengambil es batu dan mengompres punggung tanganku, "merah gini, ke rumah sakit yuk?" jujur saja luka di punggung tanganku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nyeri di hatiku.
"Cha? Are you okay?" kugelengkan kepalaku pelan, "mas Bara bohongin gue, tadi dia bilang dia maksi sama Wadir nggak taunya dia makan sama perempuan itu,"
"Wadir?"
"wakil direktur, harusnya gue sadar diri kalo mas Bara nggak mungkin ada rasa sama gue," Kalila menatapku dengan tatapan sedih.
"lo nggak boleh berasumsi sendiri, mungkin aja mereka cuma rekan kerja terus maksi bareng," aku mengendikkan bahuku dan menyeka air mata yang ternyata sudah membasahi pipiku.
Beberapa hari ini aku merasa begitu disayangi oleh Bara dan keluarganya tapi sekarang semua itu semu, perhatian mereka hanya sebatas rasa kasihan.
"nanti tanya langsung sama Bara aja, ini tangan lo mendingan dibawa ke rumah sakit deh," aku menggeleng lagi dan menarik tanganku yang masih dikompres dengan es batu oleh Kalila.
"gue istirahat aja, minta tolong bi Sum buat beresin ini ya," Kalila belum menjawab tapi aku sudah berlalu dari dapur.
Aku duduk di tepi ranjang dan melihat pemandangan di balik jendela, semua ini adalah rasa kasihan Bara, tidak lebih, aku saja yang terbawa oleh perasaan.
Matahari yang tadinya bersinar terang kini redup warna jingga mulai nampak di langit, cahaya lampu mulai berpendar.
"Cha," terdengar suara Bara tapi aku tidak bergerak sedikitpun hingga Bara berlutut di depanku dan memeriksa punggung tanganku yang masih tampak memerah karena kulitku yang putih membuat warna merah itu semakin jelas.
"sakit?" kuanggukkan kepalaku pelan, "ke rumah sakit ya?" aku menggeleng "dikasih salep aja mas," suaraku terdengar serak, Bara mengeluarkan salep dari kantong jaketnya dan mengoleskannya di lukaku.
Setelah mengobati luka bakarku Bara mengajakku untuk makan malam, Kalila sedang sibuk menata piring ketika kami memasuki ruang makan, "gimana tangan lo?" aku menunjukkan punggung tanganku ke arah Kalila.
"bawa ke rumah sakit deh bang,"
"Ocha nggak mau,"
"nggak usah lebay deh Kal, gini doang, habis dikasih salep juga sembuh," aku duduk dan Bara langsung membalik piring yang ada di hadapanku, "mau makan nasi dulu atau panekuk dulu?"
"sup aja mas, aku lagi nggak selera makan nasi,"
Bara melangkah menuju area dry kitchen dan mengambil sebuah mangkuk "nggak mau pake nasi mas," aku merengek ketika Bara memasukkan satu centong nasi, tapi dia diam saja, dengan cepat Bara mengambil dua capitan untuk memisahkan ayam yang masih utuh itu menjadi beberapa bagian, dia menaruh bagian paha di dalam mangkukku dan menyiramkan kuah yang banyak ke dalam mangkuk.
Tapi anehnya Bara tidak meletakkan mangkuk itu di depanku melainkan di sebelah piringnya yang masih tertelungkup, "saya suapin, tangan kamu pasti sakit kalo dibuat genggam sesuatu," Kalila langsung berdeham dan menatapku dengan tatapan menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH (The Journey)
ChickLitUmur tiga puluh tahun masih jomlo? Perawan tua dong? Banyak orang-orang yang beranggapan perempuan cantik hidupnya akan selalu mendapat kemudahan dimanapun dia berada, tapi menurutku kecantikan juga bisa membawa petaka, contohnya aku. "jika seseoran...