Rumah Bara terdiri dari dua lantai, di lantai pertama ada dua kamar tidur, kemarin aku belum sempat melihat-lihat jadi pagi ini setelah Kalila pergi aku naik ke lantai dua, di lantai ini hanya ada ruang keluarga sebuah ruangan dengan size yang lumayan kecil sepertinya ini akan menjadi ruang kerja Bara.
Lalu terdapat sebuah ruangan dengan dua daun pintu, kubuka perlahan satu daun pintu dan terlihat di dalamnya ada sebuah ruangan yang sangat luas yang dipenuhi dengan dinding kaca, terlihat juga sebuah balkon kecil.
Ruangan itu masih kosong dan terlihat sangat luas, di dalamnya terdapat dua ruangan yang berukuran hampir setengah dari luas kamar itu sepertinya dua ruangan itu akan menjadi walk in closet dan juga kamar mandi, tapi ini benar-benar luas seperti kamar yang ada di apartemen seharga puluhan milyar.
"Chaa, Ochaa," terdengar suara Bara mendekat, ketika aku menoleh kudapati Bara berhenti di depan pintu "suka?" aku mengangguk tanpa sadar "bagus banget ini mas, pencahayaan dapat, luas lagi ditaruh macam-macam juga nggak akan sumpek,"
Bara hanya tersenyum menanggapi ucapanku dan malah mengajakku untuk turun, dia bilang membawa sarapan untuk kami.
Tidak ada yang berbelanja memang, di kulkas rumah ini pun hanya berisi air kemasan, "kamu sibuk hari ini?" Bara bertanya disela-sela kegiatan sarapan yang kami lakukan.
"enggak sih mas, masih belum dapat mood buat nulis, tadinya mau rebahan aja seharian,"
"ikut saya habis ini,"
"kita mau ke kantor polisi lagi?" segera kuletakkan sendok dan menatap Bara dengan cemas, "kamu bukan tersangka kenapa kamu takut sampai sebegininya?" aku memberengut medengarnya, Bara tidak tahu saja semenyeramkan apa rekan kerjanya kemarin ketika menanyaiku perihal kasus cake sabu-sabu di apartemen.
Aku sudah menyiapkan mental jika harus diintrogasi lagi tapi Bara malah memasuki tempat parkir sebuah toko perlengkapan rumah "kita nggak jadi ke kantor polisi?"
"siapa yang bilang kalo kita mau ke kantor polisi? Kamu hanya berasumsi sendiri,"
Seharusnya setelah kejadian makan di rumah masakan Padang dan The World aku paham jika Bara adalah orang yang tidak bisa diprediksi tindakannya.
"kalau mau isi perabotan di lantai atas harus beli apa aja?" aku memijat pelipisku pelan setelah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh seorang Barata Mahawira.
"memangnya yang isi perabotan di lantai dasar siapa? Jin?"
"desainer interiornya, tapi untuk lantai dua saya mau isi sendiri," seharusnya kalau memang dia berniat mengisinya sendiri dia sudah membuat daftar dari rumah atau mencari referensi tapi ini? Jangankan sebuah daftar mencari referensi saja sepertinya tidak.
"harusnya mas bikin daftar dari rumah,"
"makanya saya ajak kamu, saya nggak paham soal begini," aku adalah seorang penulis dan lulusan S3 program studi ilmu gizi bukan lulusan desain interior, lagi pula yang biasa kugambarkan adalah perasaan.
'sabar Cha, sabar, anggap aja Barata Mahawira ini salah satu spesies langka dengan tingkah ajaibnya'
"memangnya di lantai dua mau jadi tempat apa?"
"Cuma kamar, ruang keluarga dan ruang kerja," kuambil ponsel dari dalam tas dan menghidupkannya, aku mencari perabotan apa saja yang harus ada di kamar, setelah mendapat daftarnya kuajak Bara untuk melihat ranjang.
"coba duduk sini," aku menarik Bara untuk duduk disebuah ranjang king size "gimana? Kurang empuk? Kita coba yang lainnya," Bara seperti anak anjing yang mengikuti pemiliknya dia hanya sibuk mengikutiku dan mengangguk-anggukan kepalanya dengan semua yang aku pilih.
"ini rumah mas loh, bukan rumahku, seharusnya mas yang antusias milih-milih,"
"saya nggak ngerti jadi kamu aja, toh sama aja kan?" sama aja? Aku terus mengulang dua kata itu dalam hati, jika aku adalah calon istrinya maka itu adalah hal yang wajar tapi aku tidak punya status lebih selain teman.
"ngelamunin apa? Capek?" aku menggeleng dan menarik Bara ke area sofa, aku harus menghilangkan semua pikiran anehku terhadapnya.
Aku dulu membeli apartemen fully furnished jadi aku hanya perlu membawa koper saja dan kini aku baru sadar jika memilih perabotan sendiri lebih menyenangkan meski bukan aku pemilik rumahnya tapi kegiatan ini benar-benar menyenangkan.
"mulai nanti kamu tinggal di hotel dulu, setelah proses renovasi selesai saya jemput kembali, sekarang kita ambil baju kamu dulu terus ke hotel," ucap Bara ketika kami berdua keluar dari toko tersebut.
"aku sewa apartemen lain aja biar nggak ngerepotin mas Bara,"
"saya sudah booking kamar hotelnya,"
Dia benar-benar orang yang tidak bisa diprediksi, Barata Mahawira dan tingkah ajaibnya memang sudah sepaket "aku minta nomor rekening mas Bara, aku harus ganti biaya hotelnya,"
"nggak perlu,"
"tapi ini mahal mas,"
Bara diam saja tidak menanggapi ucapanku lagi, itu tandanya dia tidak ingin dibantah.
Kumasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper, hidupku kini persis seperti orang purba yang hidupnya nomaden yang artinya selalu berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya..
Setelah mengejutkanku dengan acara makan di The World kini Bara mengejutkanku dengan membawaku ke The Langham Jakarta sebuah hotel mewah yang baru saja diresmikan tahun lalu yang pernah kudengar tarif permalamnya untuk kamar standar saja lebih dari empat juta rupiah.
Bahkan aku dibuat lebih terkejut dengan kamar yang dipesan oleh Bara, sebuah kamar eksekutif dengan view kota, bahkan kamar mandinya pun juga memiliki view kota, jadi saat kita berendam kita bisa menikmati pemandangan kota Jakarta dari ketinggian.
"mas ini pasti mahal banget, aku harus ganti uang mas," Bara menggeleng "kamu tadi pagi bilang kalo kamu nggak mood buat nulis, jadi saya sengaja pilihkan tempat ini supaya suasana hati kamu membaik dan kamu bisa nulis lagi, kamu istirahat sekarang, saya harus kekantor, nanti malam kita makan di atas,"
Selepas Bara pergi aku mengulang-ulang kembali kalimat Bara tentang makan di atas, maksudnya di lantai enam puluh dua Tom's by Tom Aikens kan?
Setelah mengerjap beberapa kali kubongkar koperku dan yah aku tidak menemukan pakaian yang layak, yang kubawa hanya pakaian rumahan tapi aku tidak ingin yang terjadi di The World terulang lagi, kali ini aku harus tampil sempurna.
Ting
Kualihkan tatapanku dari koper dan melihat layar ponselku yang menyala, "om Redi?" kuusap layar ponseku dan membuka pesan dari salah satu produser Adamas film.
'Kamu kemana? om rindu sama kamu'
Aku melihat deretan foto-fotoku yang dikirimkan olehnya, tanganku mendadak gemetar bahkan kakiku juga akhirnya aku jatuh terduduk sambil terus melihat semua fotoku dalam berbagai kesempatan, bagaimana aku bisa tidak menyadarinya?
'om suka sekali dengan dadamu, pasti enak kalau diremas-remas apa lagi dijilat, dikulum dan dihisap sama om. kamu benar-benar objek fantasi om yang paling sempurna. Kalau kamu mau kita bisa menghabiskan malam bersama, pasti sangat menyenangkan cantik.'
aku menangkap layar semua pesan dari om Redi dan mengirimkannya kepada Bara.
Air mata mengalir ke pipiku, tubuhku bergetar hebat, aku tidak menyangka jika selama ini tubuhku dijadikan objek fantasi seksual.
Mas Bara calling......
"saya di depan,"
Dengan tubuh yang masih gemetar kulangkahkan kakiku menuju pintu dan begitu pintu terbuka Bara ada di sana, tatapannya tajam tapi juga menyiratkan kekhawatiran, aku yang tidak tahu harus bagaimana hanya bisa menghambur ke dalam pelukan Bara.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH (The Journey)
ChickLitUmur tiga puluh tahun masih jomlo? Perawan tua dong? Banyak orang-orang yang beranggapan perempuan cantik hidupnya akan selalu mendapat kemudahan dimanapun dia berada, tapi menurutku kecantikan juga bisa membawa petaka, contohnya aku. "jika seseoran...