Part 25

2.2K 138 0
                                    

Posisi matahari sudah tinggi ketika aku terbangun, tapi tubuhku sulit untuk digerakkan karena rengkuhan Bara cukup erat, "mas," kuusap lembut tangan Bara yang melingkar di perutku.

"mas Bara," kini usapanku beragnti menjadi tepukan-tepukan kecil berharap Bara segera bangun tapi ternyata hanya menggeliat dan melepaskan rengkuhannya, dengan segera aku merubah posisiku menjadi duduk menghadap ke arah Bara yang masih terlelap.

Bagian bawah mata Bara terlihat menghitam, sepertinya Bara kurang tidur beberapa hari ini, kutatap lamat-lamat wajah rupawan itu lalu kukecup pelan pipinya sebelum beranjak untuk mandi.

Aku baru saja meletakkan sepanci sup iga ketika Bara masuk ke ruang makan, wajahnya terlihat segar rambutya masih terlihat basah meski sudah tidak meneteskan air.

"kamu masak?" Bara menrik kursi dan mendudukinya.

"iya, kemarin udah bilang ke mama biar dimasakin bi Sum atau masak sendiri, tapi ini aku masak supnya aja, perkedelnya bibi yang bikin,"

Kubalikkan piring di hadapan Bara lalu mengisinya dengan nasi, "sup aja sama sambalnya,"

Gerakan tanganku untuk mengambil perkedelpun terhenti, "nggak mau pakai perkedel?" Bara menggeleng "mau masakan kamu,"

Bara makan dengan lahap bahkan sampai menambah dua centong nasi, "mas semalam nggak sempat makan?"

"makan," jawabnya sambil sibuk mengambil potongan iga dari dalam panci dan memindahkannya ke dalam piring.

"tadi ada telepon di hape kamu," lanjut Bara begitu isi piringnya sudah tandas, "dari siapa?"

"Azzam, dia bilang mau ke apartemen kamu karena dia lihat mobil istrinya di basement,"

"kok bisa Azzam ke basement apartemen?" akses basement apartemenku hanya untuk penghuni, tidak mungkin Azzam bisa ada di basement kecuali dia penghuni di sana.

Azzam berengsek, dia pasti membeli atau menyewa salah satu unit untuk istri sirihnya yang masih abege itu.

"Cha? Ocha?"

"ha? Iya mas?"

"kamu ngelamunin apa?" Bara menatapku dengan alis berkerut "kalau sampai Naima ketemu Azzam sama istri sirihnya gimana mas? Ocha harus ke apartemen sekarang,"

Bara merengut tidak suka "telepon aja suruh Naima pindah," aku menggeleng, "Ocha harus pastikan kalau Naima nggak ketemu mereka mas,"

"saya harus meeting sebentar lagi dan saya nggak bisa membayangkan kalau seandainya malah kamu yang ketemu mereka, saya paham yang kamu rasakan dan kamu nggak mungkin membiarkan perempuan itu lolos kalau kalian ketemu,"

Ucapan Bara tepat sasaran, jujur saya beberapa hari ini aku terbayang bagaimana jika aku bertemu mereka berdua secara tidak sengaja tentu saja tangan cantikku ini pasti mendarat dengan nyaman di tubuh Azzam dan istri sirihnya itu.

"tapi mas ak-"

Bara menggeleng tegas "saya suruh Dira untuk kesana, kamu tetap di rumah, oke?" bahuku terkulai lemah dan kuanggukkan kepalaku perlahan.

"lo ngapain sampai kirim pengawal segala?"

"emang yang dateng berapa orang Na?"

"satu perempuan dua laki-laki,"

"gue lagi jadi tahanan rumah nggak bisa kemana-mana, pokoknya lo ikutin aja mereka, nanti Dira yang jelasin,"

Syukurlah Naima belum bertemu dengan mereka berdua, sementara pihak security sudah diberitahu oleh Bara sejak kasus om Redi mencuat jika ada penghuni apartemen yang bertanya nomor unitku mereka semua diminta untuk merahasiakannya.

Kulanjutkan kembali kegiatanku bersantai di balkon menikmati semilir angin di cuaca yang mulai mendung dengan ditemani secangkir teh hangat, sedangkan Bara sudah masuk ke ruang kerjanya bersama rekan kerjanya, tapi anehnya perempuan itu tidak ada.

Tapi tiba-tiba angin mulai berhembus dengan kencang awan gelap mulai memenuhi langit, kuangkat cangkirku dan masuk ke dalam, ketika sedang mencuci cangkir bi Sum menghampiriku "non mau disiapin makan siang sekarang?"

"aku aja yang masak, bibi bantuin potong-potong aja," sekarang pukul dua belas kurang seperempat dan sepertinya meeting mereka akan lama jadi kuputuskan untuk membuatkan mereka makan siang, menu sederhana saja yang penting memasaknya tidak membutuhkan waktu yang lama.

Hampir pukul satu ketika aku selesai memotong buah nanas dan alpukat, menu makan siang hari ini adalah ayam goreng lengkuas, sayur asam, dendeng dan juga sambal andaliman, bi Sum menata meja makan sedangkan aku pergi ke ruang kerja Bara.

Tok tok tok

Setelah mendegar suara Bara aku membuka pintu sedikit dan melongokkan kepalaku ke dalam, Bara nampak sibuk memeriksa berkas di meja kerjanya sedangkan rekan kerjanya terlihat sibuk dengan laptop masing-masing.

"mas ajakin temannya makan siang dulu," ajakku dari depan pintu "habis ini mereka pulang,"

"makan dulu nggak apa-apa kok ndan," seru Irsyad "iya makan dulu, aku udah capek-capek masak loh masa nggak dimakan," Bara menghela napas pelan dan meletakkan penanya "makan siang dulu" perintahnya.

Aku meninggalkan mereka dan memilih untuk makan di kamar sendirian, bukan karena aku tidak mau makan bersama mereka,tapi semua rekan kerja Bara adalah laki-laki, sejak insiden om Redi aku lebih menjaga jarak dengan laki-laki.

Kecuali pengawal yang disediakan oleh Bara karena mereka seperti robot bagiku, tidak ada tatapan genit dan juga ucapan-ucapan sok manis yang dulu pernah terlontar dari mulut rekan kerja Bara, aku memang memasang senyum malu-malu tapi di dalam hati aku benar-benar tidak suka hanya saja aku tidak mungkin mengatakannya secara langsung bukan? Apa lagi mereka adalah rekan kerja Bara.

Aku baru menyalakan tv ketika Bara masuk ke dalam kamar sambil membawa sepiring nasi dan segelas air, "loh mas nggak makan sama mereka?"

"nggak, saya temani kamu di sini," aku mengulum senyum dan mengeser dudukku di sofa. "yang masak kamu?"

"iya, bi Sum bantuin potong-potong sama goreng ayam, oh iya ini pertama kalinya aku bikin sambal andaliman semoga mas suka,"

Begitu Bara mengunyah sesuap nasi beserta ayam dan sambal kening Bara mulai berkerut ketika sudah menelannya Bara langsung menegak air "ini sambal apa? Semakin dikunyah semakin pedas,"

"ini kan sambal andaliman, ini  biasanya disebut merica Batak, jadi kalo pas dikunyah sensasi pedasnya baru keluar, perasaan nggak pedas banget kok,"

Barata Mahawira ini bukan tipe penyuka makanan pedas dan aku juga sudah mencicipi sambalnya tadi, menurutku tidak terlalu pedas tapi ternyata masih cukup pedas untuk Bara.

"sini aku sisihin sambalnya," kusisihkan sambal ke ujung piring Bara sedangkan Bara masih sibuk mengunyah timun untuk meredakan pedas di mulutnya.

"cium dulu biar pedasnya hilang," Bara menarik tengkukku dan menyatukan bibir kami, bukan hanya dikecup tapi bibirku juga dilumat olehnya.

"modus banget sih," aku mendumal ketika Bara melepaskan ciumannya sambil memukul pelan lengannya tapi Bara tampak tidak peduli malah kembali menyantap makan siangnya dengan tenang.

Ternyata memang benar sedingin apapun seorang laki-laki jika sudah berhadapan dengan orang yang disayanginya maka sikapnya akan berbeda.

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang