Part 26

2.2K 122 1
                                    



Minggu depan aku akan menjadi saksi di persidangan perdana om Redi hal itu membuat tidurku beberapa hari ini menjadi tidak tenang, aku sering terbangun tengah malam apa lagi Bara sedang giat sejak dua hari yang lalu.

"lo begadang?" Kalila meletakkan sepiring alpukat di atas meja santai lalu duduk di sofa tepat di sebelah sofa yang kududuki, "nggak bisa tidur jadi nulis aja,"

"lo masih gak aktif di The Journey? Padahal yang dukung lo banyak banget loh," ucap Kalila sambil sibuk membolak balik katalog baju yang memuat fotonya.

"gue takut baca komentar yang bikin mood gue berantakan, gue belum siap baca komentar yang menyudutkan gue,"

"percaya sama gue pembaca lo itu dukung lo dan lo nggak akan nemuin komentar yang nyudutin lo, lagian tim kuasa hukum lo kan udah bilang di konferensi pers waktu itu, setiap komentar jahat akan diproses secara hukum jadi mana mungkin ada yang berani, kalau sampai ada yang nekat ya siap-siap aja masuk penjara,"

Kuambil ponselku lalu mengatur napasku "semua ketakutan lo nggak akan terbukti, percaya sama gue Cha,"

Ketika akan membuka aplikasi The Journey dering ponsel Kalila menghentikan jariku "nyokap gue tumben nelepon jam segini? Nggak ngajar apa ya?"

"mungkin ada yang penting Kal," kuurungkan niatku membuka aplikasi The Journey dan menyimak obrolan Kalila dengan mamanya.

"innalilahiwainnailaihirojiun, oke ma, Kalila kesana sekarang," wajah Kalila nampak pucat.

"kenapa Kal?"

"om gue yang gue ceritain waktu itu meninggal Kal, kena serangan jantung pagi tadi,"

"innalilahiwainnailaihirojiun, turut berduka cita ya Kal," Kalila bergegas beranjak dari area balkon "gue harus kesana sekarang,"

"pakai supir Kal, jangan nyetir sendiri," aku mengikuti Kalila masuk ke dalam apartemen dan memanggil salah satu pengawal "salah satu dari kalian tolong antarkan Kalila ke rumah omnya,"

Kalila memasuki foyer dengan langkah terburu-buru wajahnya terlihat sedih "lo yang tenang ya Kal," kuusap lembut punggung Kalila sebelum gadis itu memasuki lift.

Saat pintu lift sudah tertutup ponselku berdering sebuah panggilan masuk dari mama Safira.

"assalamualaikum ma,"

"waalaikumsalam sayang, sayang sibuk nggak?"

"nggak kok ma, ada apa?"

"omnya Kalila meninggal, ikut mama takzia ya sayang, nanti mama kasih alamatnya kita ketemu di sana aja,"

"iya ma, Ocha siap-siap dulu,"

Begitu mengucapkan salam sambungan telepon itu terputus, aku bergegas mengganti baju santaiku, kupilih gamis berwarna hitam senada dengan kerudungnya yang juga berwarna hitam bahkan tas dan juga sendalku berwarna senada.

"pakai Voxy aja," titahku ketika kami tiba di basement, "baik non," pengawal itu membukakan pintu penumpang untukku, ketika sudah duduk di dalam mobil kukirim pesan untuk Bara, inginnya meneleponnya tapi jika sedang giat seperti ini aku tidak pernah meneleponnya terlebih dahulu takut mengganggunya.

Aku tiba di rumah duka bersamaan dengan mobil jenazah, begitu pintu belakang mobil jenazah dibuka kupalingkan wajahku, aku yang takut hantu jelas takut melihat jenazah, bulu kudukku bahkan meremang.

Pintu mobil tiba-tiba terbuka membuatku berjengit kaget, ternyata mama sudah berdiri di samping mobilku, "Ocha takut nggak kalau masuk ke dalam? soalnya keluarga inti mereka ada di dalam, kan nggak enak kalo takzia nggak ketemu keluarga intinya,"

"bismillah ya ma," uluran tangan mama kusambut dan aku turun dari mobil, suara tangisan keluarga terdengar ketika kami sudah ada di halaman rumah, terdengar sangat memilukan.

"maafin aku pa, maafin aku," seorang perempuan menangis di sebelah jenazah yang sudah tertutupi dengan kain, Kalila ada di sebelah perempuan itu berusaha menenangkannya tapi dia juga berurai air mata.

Setelah mengucapkan bela sungkawa aku dan mama ikut mengaji sampai jenazah diberangkatkan menuju peristirahatan terakhir barulah mama dan aku berpamitan untuk pulang.

"Ocha pulangnya mau ditemani mama nggak?" tanya mama ketika kami sampai di mobilku sedangkan mobil mama masih berada jauh di belakang, sepertinya mama sengaja memarkirkan mobilnya jauh-jauh karena ini bukan komplek perumahan mewah, mobil yang kubawa saja sudah menarik perhatian warga sekitar sini terlihat dari tatapan mereka yang penuh minat ketika aku turun dari mobil.

"Ocha nggak apa-apa kok ma," mama mengusap-usap punggung tanganku dengan lembut, "nanti kalau nggak berani tidur sendirian ke rumah aja atau kamu telepon biar mama sama papa yang ke apartemen,"

"Ocha nggak apa-apa ma, lagian tadi Ocha kan nggak lihat wajahnya, nggak pernah kenal juga, jadi aman,"

Sesampainya di apartemen keningku berkerut ketika melihat pintu yang menuju balkon terbuka padahal biasanya bi Sum akan menutup semua pintu ketika cuaca sudah mulai mendung, kuletakkan tasku di atas sofa ruang keluarga dan berjalan menuju balkon mungkin bi Sum sedang bersih-bersih di sana.

Ternyata ada yang sedang berenang, "mas Bara?" kepalanya langsung tersembul dari dalam kolam "baru pulang?" aku mengangguk lalu duduk di tepi kolam dengan kaki yang kucelupkan ke dalam air membiarkan bagian bawah gamisku basah.

"mas kok baru pulang langsung berenang nggak capek?"

"lagi pengin aja, kamu mau berenang juga?" bara mendekat ke arahku, kini tubuh Bara terapit kedua kakiku, kedua tangannya melingkar di pinggangku sedangkan kedua tanganku mengalung di lehernya, posisi kami begitu intim.

"aku males ganti baju," kutundukkan wajahku dan mengecup bibir Bara tapi kemudian kecupan itu dibalas menjadi lumatan oleh Bara, dengan perlahan Bara menarik tubuhku masuk ke dalam kolam sambil tetap berciuman.

Ketika aku sudah masuk ke dalam kolam, Bara merapatkan tubuhku di dinding kolam sambil menghisap bibir bawahku tangan Bara perlahan naik dari pinggang lalu menarik resleting kerudung yang kupakai, begitu terbuka Bara melepaskan ciuman kami dan melepaskan kerudung itu dari kepalaku.

Setelah menaruh kerudung di tepi kolam Bara menarik resleting gamisku yang berada di bagian depan dan melepaskan gamis itu dari tubuhku, kini tubuhku hanya terbalut sport bra dan short pants, Bara kembali mencumbuku sedangkan aku merapatkan tubuh kami hingga dadaku menyentuh dadanya.

"jangan," bisikku ketika Bara akan melepaskan bra yang kukenakan, "apartemen ini tertinggi di kawasan ini, kamu nggak perlu takut akan terlihat orang lain," ucap Bara sambil meloloskan braku.

"ada bibi," Bara menaikkan sedikit tubuhku agar dadaku tidak terkena air dan kini posisiku menjadi lebih tinggi darinya, "bibi tadi pamitan jenguk anaknya, baru kembali besok, so? Boleh?" dengan wajah memerah kudekap kepala Bara hingga wajahnya menempel di dadaku.

Kurasakan Bara mengecup pucuk dadaku beberapa kali sebelum memasukkan pucuk merah muda itu ke dalam mulutnya, mulutnya bergantian menghisap dadaku membuatku meremas rambutnya sambil mendesah.

Angin kencang tiba-tiba berhembus membuatku bergidik dan memeluk kepala Bara lebih erat "dingin mas," bisikku.

Bara melepaskan hisapannya lalu mengangkat tubuhku ke tepi kolam, Bara juga keluar dari kolam, dengan cepat dia menyambar bathrobe dan menyampirkannya di punggungku, aku memekik ketika Bara tiba-tiba saja menggendongku dengan posisi seperti menggendong anak-anak kulingkarkan kakiku di pinganggnya dan dengan santainya dia memagut bibirku sembari berjalan masuk ke dalam apartemen.

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang