Part 2

3K 171 14
                                    

"lo semalem diomelin nggak sama si Bara?" kuletakkan sepiring salad buah di depan Kalila yang saat ini sudah duduk manis di kursi meja makan.

"dikit sih, mana dia ngira gue mau belajar jadi cewek nggak bener, tatapan tajamnya juga bikin merinding." Kucelupkan potongan buah naga ke dalam yoghurt lalu memakannya sembari mendengar celotehan Kalila.

"dih, itu orang emang mana pernah bisa lemah lembut, siapapun yang jadi bininya nanti semoga betah sama kelakuannya yang arogan itu"

"sebenernya bukan arogan sih, cuma tegas dan nggak bisa basa basi, tapi jarang-jarang loh gue ketemu sama abdi negara yang modelannya kayak mas Bara, kebanyakan dari mereka kan suka tebar pesona, terus merasa dirinya lebih waw dari pria kebanyakan karena power seragam mereka."

"bener sih, gue jadi inget jargon hallo dek di twitter" aku menjentikkan jari "nah iya kan? Abang lo ini beda spesies sama mereka jadi seharusnya lo ngerasa beruntung punya abang sepupu yang bukan tukang mainin anak orang,"

"gue kadang curiga sih kalo si Bara itu gay," aku yang sedang mengunyah mendadak tersedak karena ucapan yang dilontarkan oleh Kalila. "coba lo pikir deh Bara itu udah cakep, berseragam, pangkatnya juga udah lumayan mana ada cewek yang nggak mau sama dia, tapi nih ya dia udah tiga puluh tiga tahun loh tapi nggak pernah sekalipun bawa cewek ke rumah, dikenalin pun nggak mau katanya mau cari sendiri, mana sekarang lagi trend kan kalo cowok cakep belom taken kebanyakan ya belok."

"ya mungkin aja mas Bara emang belom mau punya pasangan, masih fokus meniti karir, terus mas Bara kan juga gila kerja, meskipun ganteng dan mapan tapi kalo gila kerja cewek pasti juga mikir kan?"

"lo kok kesannya belain Bara terus sih? Lo naksir yaaa?" aku mendengus mendengar tuduhan Kalila "gue nggak belain Kal, itu menurut sudut pandang gue aja."

"lo naksir juga nggak apa-apa, jadi bininya juga boleh, gue dukung banget soalnya gue udah tau lo sampe keakar-akarnya,"

"mana mungkin gue masuk tipe istri idaman mas Bara, cowok kayak dia pasti pilih cewek-cewek yang high quality bukan tipe remahan biskuit kayak gue begini," aku menggeleng-gelengkan kepala merasa ucapan Kalila tidak masuk akal .

"lo cantik, bisa masak, punya kerjaan bagus, kurangnya dimana sampe lo nyebut diri lo sebagai remahan biskuit?" aku menghela napas "lo inget kan beberapa temen selebgram lo yang nikah sama sama polisi? Ketiganya itu model, finalis ajang kecantikan juga, kalo dibandingin sama gue yang punya bentuk tubuh begini jelas beda jauh belum lagi relasi mereka,"

"lo emang nggak bisa bedain antara semok dan kurus kering Cha, tapi menikah kan bukan karena bentuk tubuh, pencapaian ataupun relasi, ini tuh masalah hati Cha, heran banget gue kenapa pikiran lo bisa sedangkal ini sih?" kuhela napas pelan.

"sebenernya pas gue balik ke Semarang gue dikenalin sama eyang uti, pengin nolak tapi nggak tega, terus yang dikenalin ini polisi pangkatnya BRIGPOL, pas kita ketemuan ngobrol kan basa basi eh pas bilang kalo gue itu penulis responnya beda, katanya ibu bhayangkari itu harus punya support biar suaminya dapat nama bagus, punya relasi yang mendukung jadi bisa terlihat bagus di mata masyarakat dan institusi terus dia nyebut dong selebgram-selebgram temen lo,"

"anjing! bangsat banget tuh orang, dia belom tau aja duit lo seberapa banyak, anjing emang tuh cowok,"

"nggak kaget sih emang banyak kan orang yang memandang sebelah mata dengan profesi gue sebagai penulis, biasanya gue nggak ambil pusing, tapi dia bikin gue ngerasa kalo gue nggak sebanding jika harus bersanding dengan seseorang yang berseragam,"

"jangan gitu, nanti deh gue tanyain sama Bara punya temen yang jomlo enggak buat dikenalin sama lo," aku menggeleng lemah dan tersenyum kecut "nggak usah Kal, kalo seandainya yang lo kenalin juga punya pemikiran kayak dia mending gue nggak usah kenal sekalian dari pada gue dicemooh seolah-olah gue nggak selevel sama mereka."

Hari beranjak sore, dengan mengenakan jumpsuit aku pergi ke unit Kalila, sejak bertetangga tiga tahun yang lalu kami memiliki jadwal makan malam bersama setiap minggu bersama dengan Bara juga hingga kami harus selalu menyesuaikan jadwal lelaki itu.

Yang tidak habis kupikir adalah, seorang Barata Mahawira betah mendengarkan celotehanku dan Kalila yang kadang absurd sekali. Bahkan sebelum aku dan Kalila mengangkat piring lelaki itu tidak akan beranjak kemanapun. Biasanya dia akan bermain dengan ponselnya sampai aku mengambil piring di hadapannya.

"aduuh" sejak obrolanku dengan Kalila tadi aku menjadi sedikit tidak fokus dan kini jariku teriris ketika sedang memotong buah untuk pencuci mulut, "kenapa Cha?" tanya Kalila sambil mematikan kompor," aku menunjukkan jariku yang berdarah lalu tiba-tiba saja jariku dibalut dengan tisu oleh Bara "sakit?" tanyanya sambil menekan pelan jariku yang terluka "dikit mas,"

"Kal, ambilkan kotak obat," kini Bara membawaku ke dapan wastafel lalu mencuci lukaku "perih mas," keluhku saat jariku yang terluka terkena air "ini bang, dalem nggak Cha?" aku menggeleng "kegores dikit aja kok," Kalila menggangguk dan akhirnya meninggalkan aku berdua dengan Bara.

Bara membersihkan lukaku dengan alkohol lalu memberikan obat merah yang membuatku mengernyit seketika karena sensasi perihnya dan terakhir membalut lukaku dengan plester "sudah, kamu duduk aja, biar saya yang selesaikan,"

"makasih ya mas," Bara mengangguk saja lalu membereskan kotak obat dan mencuci kedua tangannya sebelum melanjutkan kegiatanku memotong buah tadi "Cha sini, lo duduk aja, lagian udah beres kok"

Aku meninggalkan pantry, beralih mengambilkan nasi untuk Kalila dan Bara "duduk Cha, saya bisa ambil sendiri," Bara datang sambil membawa sepiring buah mangga, "kan cuma ngambilin nasi," Bara menarik kursi dan mendudukanku di sana "duduk," ulangnya lagi.

Makan malam akhirnya di mulai, menu makan malam kali ini adalah ayam bakar dan urap-urap, sebenarnya kami tadi akan memasak steik dan pasta tetapi Bara tiba-tiba saja menelepon siang tadi dan mengatakan ingin memakan ayam bakar untuk makan malam.

"bang lo punya teman jomlo nggak? Tapi pangkatnya yang setara sama lo," Kalila memulai pembicaraan ditengah-tengah acara makan malam kami "sejak kapan kamu tertarik sama cowok berseragam?" Bara menatap Kalila dengan mata menyipit "bukan buat gue tapi buat Ocha," aku yang sedang meminum air menjadi tersedak.

"ihhh apaan sih lo? Nggak kok mas, jangan dipercaya omongannya Kalila," aku mengibaskan tangan di udara ketika Bara beralih menatapku. "gue beneran nggak terima ya Cha lo digituin sama polisi yang pangkatnya nggak seberapa itu," Kalila tampak berapi-api.

"kamu habis diapain?" Bara menatapku dengan tatapan menelisik "nggak kok mas, nggak diapa-apain kok," elakku yang membuat Kalila mendengus jengah "nggak diapa-apain tapi lo aja sampe insecure, sampe merasa rendah diri gimana kalau diapa-apain? Mungkin lo bisa bunuh diri kali," cibir Kalila.

"kamu dilecehkan?" tuduhan Bara membuatku menggelengkan kepala dengan cepat "nggak kok mas"

"Ocha pas di Semarang kemaren dikenalin sama polisi pangkatnya BRIGPOL tapi lo tau bang setelah Ocha bilang kerjaannya apa itu cowok malah bilang kalo jadi ibu bhayangkari harus punya power biar suaminya bagus di mata masyarakat dan institusi kan bangsat banget itu cowok."

Kalila bercerita dengan berapi-api membuatku menghela napas berat "tapi kan memang benar, makanya banyak anggota yang nikah sama selebgram, mantan finalis ajang pemilihan puteri kecantikan, mereka bersanding dengan orang-orang yang pantas,"

Aku terkejut ketika mendengar dentingan sendok yang ditaruh dengan kasar di atas piring dan pelakunya adalah Bara "nggak satu orangpun yang berhak merendahkan kamu, pekerjaan kamu ataupun kesenangan kamu, apapun profesi kamu jangan pernah merasa kamu nggak sebanding dengan mereka, semua manusia itu sama."

Tatapan Bara begitu dingin, intonasi bicaranya datar tetapi tatapan dinginnya membuatku nyaris bergidik "saya selesai," kursi berderit dan Bara beranjak dari duduknya "loh nggak dihabisin bang?" pria itu tak bergeming dan meninggalkan meja makan begitu saja. 

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang