Part 29

2.2K 128 4
                                    

Dua pengawalku jelas kebingungan ketika mendapati aku keluar dari rumah om Kalila sambil menangis, dengan langkah cepat aku masuk ke dalam mobil, aku malu sekali dengan ucapan tante Amalia, di sana ada beberapa tetangga om Kalila juga, mereka pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku.

Sedangkan di dalam mobil aku tidak bisa mengeluarkan suara, karena mobil yang kupakai bukan Lexus LM yang punya kaca partisi pembatas antara kabin pengemudi dan penumpang, air mata terus membasahi pipiku, mungkin kedua pengawal itu juga mendengar ucapan tante Amalia karena beliau berucap sangat keras.

Sesampainya di apartemen aku masuk ke dalam kamar, berbaring miring di atas ranjang lalu kututupi tubuhku dengan selimut dan menangis sepuasnya.

Aku menangis sampai napasku tercekat, dadaku begitu sesak, penghinaan yang kuterima sangat kejam, padahal aku baru bertemu dengan beliau tapi kenapa beliau bisa menuduhku seperti itu?

*****

"jerat kepala daerahnya dulu dengan tuduhan suap setelah itu seret dia, saya mau beritanya sudah sampai ke media besok pagi," sayup-sayup aku mendengar suara Bara, sepertinya aku tertidur setelah kelelahan menangis.

Sekarang mataku terasa perih sekali, kukerjapkan mataku perlahan, Bara sedang berdiri menghadap ke arah dinding kaca, satu tangannya masuk ke dalam saku celananya sedangkan satu tangan yang lain sedang memegang ponsel.

Langit sudah gelap, sepertinya aku tidur sangat lama, "kalau sampai keluarga om Irawan menunjukkan dirinya di depan Orisha sekali lagi, Bara tidak tahu apa yang akan sanggup Bara lakukan kepada mereka, terutama tante Amalia," aku mengernyit mendengar ucapan Bara, siapa yang sedang ditelepon olehnya?

"mama tahukan Bara tidak mentolelir siapapun yang sudah menyakiti Orisha? Dan pastikan keluarga om Irawan paham akan hal itu," suara Bara terdengar sangat dingin, padahal dia sedang berbicara dengan orang tuanya.

Aku jadi teringat ucapan Selena tempo hari yang mengatakan Bara selalu pasang badan jika ada yang mneyakitiku dan inilah buktinya.

"Orisha," rupanya Bara menyadari aku sudah terbangun, Bara melangkah mendekati ranjang sedangkan aku beringsut mengubah posisi rebahku menjadi duduk dan bersandar di headboard.

Kutepuk pelan sisi tempat tidur yang kosong, Bara duduk di sana sambil menyandarkan dirinya di headboard, aku langsung memeluk tubuhnya dari samping.

"maafkan saya karena sudah gagal jaga kamu," kupikir air mataku sudah mengering karena terlalu banyak menangis tadi tapi ternyata aku salah, tangisku kembali pecah ketika mendengar ucapan Bara.

Dengan lembut Bara mendekapku sebelah tangannya mengelus punggungku, kecupan-kecupan kurasakan di puncak kepalaku, Bara tidak berbicara apa-apa lagi dia membiarkanku menumpahkan semua kesedihan yang kurasakan.

Setelah tangisku berhenti Bara melepaskan pelukan kami, ditatapnya wajahku dengan tatapan hangat, kedua tanganya mengusap kedua pipiku yang masih basah, kupejamkan mataku ketika Bara mengecup keningku dengan lembut.

Bara kembali memelukku dan mengusap punggungku dengan lembut "saya pastikan dia dan keluarganya menerima rasa sakit seperti yang kamu rasakan,"

Keesokan paginya aku terbangun di atas ranjang sendirian, "sudah bangun?" Bara keluar dari walk-in closet sambil menggeret koper aku tidak ingat ada koper di walk-in closet.

"itu koper siapa mas?" Bara meletakkan koper di sudut ruangan lalu menghampiriku dan duduk di atas ranjang "koper kamu, kamu mandi setelah itu siap-siap, habis sarapan kita berangkat,"

Aku menatap Bara bingung "kemana mas?" Bara mengulum senyum "kata mama belanja seserahan," aku semakin bingung, untuk apa belanja seserahan sampai membawa koper segala?

"barang seserahannya dimasukin koper gitu?" Bara terkekeh "sudah nanti kamu juga tahu, mandi dulu sana," meskipun masih bingung aku tetap beranjak untuk mandi dan bersiap-siap.

Di ruang makan ternyata sudah ada mama dan papa, ketika melihatku mama tersenyum dengan hangat, matanya menyiratkan sesuatu yang lain tapi tidak berani untuk mengatakannya, sepertinya Bara sudah mewanti-wanti mama untuk tidak membahas masalah kemarin.

"pagi sayang, duduk sini kita sarapan dulu," aku menatap bingung makanan yang ada di atas meja, semua lauk di sana terbuat dari bahan dasar daging, sop daging, rawon, soto daging, sate, bulgogi, rendang bahkan steik pun ada.

"mau lauk yang mana?" mama ternyata sudah mengisi piringku dengan nasi ketika aku masih menatap deretan lauk yang ada di atas meja makan.

"aku bisa ambil sendiri kok ma," mama menggeleng "no no no hari ini kamu adalah tuan puteri, jadi turuti rulesnya oke?" mama mengedipkan sebelah matanya membuatku mengulum senyum.

Rasa hangat sarapan kali ini menjalari hatiku dan membuat perasaanku jauh lebih baik, papa dan Bara yang biasanya hanya berbicara sekenanya pagi ini lebih banyak berbicara lalu senyuman hangat mama memberikan rasa damai di hatiku.

Bara tadi mengatakan kami akan pergi berbelanja barang untuk seserahan tapi mobil yang kami tumpangi malah memasuki area bandara, "ini kita mau kemana ma?"

"hari ini kita ke Singapura sayang, papa sudah siapkan pesawat untuk kita berdua, tuh pesawatnya," dari dalam mobil mama menunjuk sebuah private jet yang sedang terparkir.

"loh kata mas Bara kita mau belanja seserahan kan?" aku manatap bingung ke arah mama, "iya, kita cari yang baru yang lucu-lucu di sana,"

Begitu turun dari mobil aku menatap takjub pada burung besi itu, selama ini aku hanya pernah melihatnya di tv ataupun media online dan sekarang aku bisa melihatnya secara langsung bahkan menaikinya.

"kapanpun Ocha mau pakai ini bilang aja, nanti biar papa yang siapin," ucapan mama membuatku melongo "haduh kemana juga Ocha sampai harus pakai private jet begini ma?"

"kemana aja, ke Semarang misalnya, Ocha harus terbiasa dengan semua fasilitas keluarga Mahawira, dinikmati aja toh papa sama Bara kerja juga untuk kita kan?"

Mama mengajakku untuk naik terlebih dahulu sedangkan Bara masih mengobrol dengan kru pesawat, ketika menginjakkan kakiku di dalam pesawat aku semakin terkesima dengan fasilitas yang ada di dalamnya, kursinyapun terasa sangat nyaman.

Mama masih sibuk berbicara dengan papa di telepon ketika Bara naik ke pesawat , tapi Bara tidak duduk malah menghampiriku, tubuh jakungnya menunduk, kedua lengannya memegang arm rest di sisi kanan dan kiri kursi yang kududuki untuk menahan tubuhnya.

Sebuah kecupan hangat diberikan Bara di keningku lalu turun keujung hidung dan terakhir mengecup bibirku, wajahku terasa panas karena perlakuan manis Bara, "saya harus kerja, kamu baik-baik di sana,"

Bara menegakkan tubuhnya dan mengusap lembut kepalaku "saya pergi dulu," pamitnya, aku hanya bisa mengangguk saja karena masih merasa terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Bara tadi.

Mama ternyata sudah selesai menelepon papa dan melihat apa yang dilakukan oleh putra semata wayangnya itu.

"mama baru tahu loh kalau Barata Mahawira bisa bersikap manis juga," Bara berdecak lalu menyalami mama tanpa menghiraukan tatapan menggoda mama "Bara berangkat ma,"

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang