Part 23

2K 147 0
                                    

aku meninggalkan apartemen setelah mengisi lemari es, ada Naima di sini sedangkan di apartemen hanya ada beberapa makanan ringan yang kutinggalkan dan di lemari es hanya tersisa air kemasan.

Setelah apa yang dialami olehnya, jangankan makan teratur, rasa laparpun tidak akan terasa.

Pedihnya pengkhianatan, seperti luka tapi tak berdarah, padahal luka itu menganga begitu lebar dan juga dalam, tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya kecuali waktu.

Beruntungnya aku bisa menaiki mobil ini, kututup kaca partisi pemisah dengan pengemudi dan menangis sepuasnya bahkan sampai terisak-isak.

Bukan aku yang dikhianati tapi rasa pedihnya ikut menjalari hatiku, ketika Naima bertanya apakah dia harus bertahan untuk anaknya atau memilih untuk berpisah aku tidak bisa menjawabnya.

Kepercayaan layaknya gelas kaca, ketika sudah pecah serapi apapun kita merekatkannya gelas itu tidak akan pernah utuh lagi.

Lalu ketika seorang laki-laki sudah merasa jika dia tidak puas dengan istrinya maka dia akan melakukan segala cara hanya untuk memenuhi nafsunya.

Ketika mobil memasuki pelataran apartemen kulihat mama Safira berdiri di depan sebuah truk pengangkut mobil dan laju mobilpun terhenti, pintu di sebelahku terbuka sepertinya si pengemudi yang membukanya.

Aku turun dan mendekati mama Safira "mama beli mobil baru?" tanyaku setelah menyalami mama,"enggak, ini katanya hadiah dari Bara buat kamu,"

Sebuah mobil Toyota Voxy diturunkan dari atas truk "mbak Orisha silahkan ditandatangani serah terimanya," seorang laki-laki menyodorkan sebuah berkas kepadaku.

Dengan wajah bingung aku menerima berkas itu dan menandatanganinya, "ini kunci beserta STNK nya, untuk bukti kepemilikannya bisa di ambil di showroom tiga bulan lagi,"

"ini cash?" aku membeli Honda HR-V dengan cash juga, tapi jika dibandingkan dengan mobil ini aku bisa mendapatkan dua mobil seperti milikku.

"iya, seharusnya sudah dikirim dua minggu yang lalu tapi pak Bara minta untuk dikirim setelah STNK nya keluar,"

Setelah pegawai showroom pergi mama menghela napas kesal, "Bara itu gimana sih?" mama mengitari mobil itu dengan tatapan menilai sambil berdecak.

Mungkinkah mama marah karena Bara membelikanku mobil? Perasaanku menjadi tidak enak.

"kok bisa-bisanya Bara beli mobil begini buat kamu, minimal Alphard lah, pelit banget sama istri sendiri,"

Well

Sepertinya tebakanku salah, bagi mama mobil ini kurang mahal, memang jika dibandingkan dengan mobil yang diberikan papa sudah jelas mobil ini tidak ada apa-apanya tapi bagiku mobil ini sudah mewah sekali untuk ukuran dompetku.

"ma, ini mobilnya sudah bagus kok, mewah juga," mama berdecak kesal "no no no menantu mama nggak boleh pake mobil murahan begini,"

Kupijat pelipisku pelan, untuk ukuran mobil yang harganya lebih dari setengah milyar dan banyak orang di luar sana harus menabung sekian tahun atau menanggung cicilan besar demi memiliki mobil nyaman untuk keluarga ucapan mama jelas menohok mereka.

"kemana lagi ini Bara? Ditelepon nggak diangkat," kuusap lembut lengan mama "mas Bara kan lagi giat ma, udah ya kita masuk aja udah mau hujan kayaknya," aku menunjuk langit hitam di kejauhan.

Kami berdua masuk ke dalam apartemen, mama langsung menghempaskan diri di atas sofa dan meminta segelas air kepada bibi Sum.

"oh iya gimana tadi sepupu kamu?" aku meneguk segelas air dingin sebelum bercerita kepada mama.

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang