Part 18

2.1K 162 0
                                    

Dengan wajah berlinang air mata aku memasuki lobi sebuah rumah sakit ternama di Jakarta, banyak pasang mata yang menatapku tapi aku tidak peduli.

Langkah kakiku memelan ketika memasuki ruang instalasi gawat darurat tanpa bertanya kepada resepsionis aku langsung membuka tirai satu persatu untuk menemukan Bara tapi hingga tirai terakhir aku tidak menemukannya.

Kututup mulutku yang mengeluarkan isakkan, pikiran buruk menyergap otakku.

"Ocha?" Itu suara Bara, aku menoleh dan mendapati Bara ada di depan pintu toilet, dia nampak baik-baik saja hanya lengan kanannya diperban.

Penglihatanku semakin buram karena air mata yang menggenang di pelupuk mataku, isakanku semakin keras, "Cha? Kenapa? Ada yang sakit?" Bara mendekatiku dan memegang kedua bahuku.

Kurengkuh tubuh tegapnya, wajahku terbenam di ceruk lehernya, aku tidak peduli jika kami menjadi tontonan di ruangan ini asalkan Bara baik-baik saja itu sudah cukup untukku.

Entah berapa lama sampai tangisku mereda, Bara dengan lembut terus mengusapi rambut sepunggungku yang tergerai, begitu hanya sedu sedan yang terdengar Bara melepaskan pelukan kami.

Tangan besarnya mengusap lembut pipiku yang basah "saya nggak apa-apa," kutatap Bara lamat-lamat tidak ada luka selain luka di lengannya.

"kata Kalila mas kena tembak," tangisku meluncur kembali ketika mengatakan itu "ssshhhhh," Bara memelukku kembali "saya cuma terkena sayatan benda tajam bukan tembakan,"

"tapi-," kalimatku menggantung karena sebuah pemikiran terlintas di kepalaku.

Kalila sialan!

"saya nggak apa-apa, ini cuma luka kecil,bahkan nggak butuh jahitan karena lukanya memang kecil," Kalila berhasil membuatku keluar apartemen bahkan menemui Bara.

Bara melepaskan pelukan kami tangannya kembali mengusap pipiku dan kini beralih ke bawah mataku, tatapannya menelisik wajahku "kenapa sampai begini? Nggak bisa tidur," aku mengangguk.

"pulang ya? Kamu harus istirahat," begitu berbalik banyak pasang mata yang menatapi kami membuatku menunduk malu, tapi Bara dengan tidak tahu dirinya malah merangkul pinggangku dan membawaku keluar dari ruangan itu.

"kalau tahu dengan cara ini bisa bikin kamu keluar dari apartemen sudah saya lakukan dari hari pertama," kucubit perut liatnya dan kutatap tajam wajahnya dari samping "mas mau bikin aku jantungan?"

"asalkan saya bisa ketemu kamu semua yang nggak mungkin bisa mungkin,"

"berarti mas ini sengaja?" Bara membukakan pintu mobil untukku bahkan memasangkan seatbelt untukku membuatku menahan napas ketika wajahnya begitu dekat dengan wajahku.

"sayangnya ini bukan rencana saya, karena kurang fokus bandar narkoba itu bisa melukai saya," ucapnya ketika sudah memasuki mobil.

"salah mas sih udah tau nangkap penjahat malah nggak fokus, emang mas lagi mikirin apa sih?"

"kamu, saya heran dengan persepsi kamu, hanya karena satu foto kamu bisa mengambil kesimpulan kalau saya punya hubungan spesial dengan Ayu,"

"beritanya viral, apa lagi latar belakang keluarga Ayu yang ayahnya adalah mantan gubernur, Ayu juga mantan finalis puteri Indonesia,"

"dan kamu mengira saya punya hubungan spesial dengan Ayu karena pencapaian serta latar belakang keluarganya, begitu?" aku mengangguk dengan polos membuat Bara berdecak.

Mobil Bara berhenti di lampu merah, satu tangan Bara bertumpu di kemudi dan dia mengalihkan tatapannya kepadaku.

"saya nggak ada hubungan apapun dengan Ayu, foto itu diambil ketika acara makan bersama Wadir dan sudah jelas saya makan di sana ramai-ramai bukan seperti apa yang kamu bayangkan selama ini, paham?," aku terdiam sejenak, "tapi di foto itu kalian keluar berdua,"

Bara mendesah dan menyodorkan ponselnya "kalau masih nggak percaya kamu bisa lihat media sosialnya Irsyad,"

Kuterima ponsel itu lalu mencari media sosial milik Irsyad dan memang benar mereka pergi beramai-ramai, kutatap Bara yang kini kembali fokus mengemudikan mobil, "mas beneran nggak tertarik sama Ayu? Dia kan cantik, ber-,"

"nggak,"

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku tapi Bara sudah memotongnya, nada suaranya pun terdengar sangat ketus membuatku menutup mulut seketika.

Suasana di dalam mobil menjadi hening seketika sedangkan aku tidak berani memancing Bara lagi setelah nada suara ketusnya terdengar, aku tidak mau membangunkan singa yang sedang tidur jadi lebih baik aku diam.

Mobil Bara kembali berhenti, kini tatapanku fokus pada spanduk pecel lele yang baru dipasang sebuah tempat makan kaki lima, "makan lele enak kayaknya," gumamku.

"mau makan di sana?" aku terkejut ketika mendengar nadasuara Bara yang kembali melembut, "kamu mau makan di sana? Atau mau ke Signatures Kempinski?"

Signatures Kempinski adalah sebuah restoran yang ada di hotel Kempinski, salah satu restoran all you can eat dengan menu yang bervariasi dari hidangan Barat, Jepang sampai Nusantara dan rasanya sangat enak.

"di sana aja," aku menunjuk kedai itu "kamu nggak akan diusir meski kamu nggak dandan kalau kita ke Signatures," aku menggeleng "pengin makan lele, kangen makan di pinggir jalan," Bara mengulum senyum dan mengusap lembut rambutku.

Bara membelokkan mobilnya ke tempat parkir yang memang disediakan di sana karena tempat yang kami lewati seperti sentra pedagang kaki lima, banyak penjual makanan di sana membuat mataku berbinar menatapnya.

"mau jajan dulu boleh?" aku bertanya kepada Bara setelah kami keluar dari mobil, anggukan Bara membuatku tersenyum.

Pertama kami menghampiri penjual martabak mini, aku memesan satu porsi yang berisi lima potong martabak telur dengan isian daging, sambil menunggu aku juga memesan basreng dan tahu kriuk.

"sudah?" aku mengangguk dengan semangat sambil meniup-niup basreng yang masih panas, kami berjalan menuju kedai pecel lele yang kutunjuk tadi.

Kedainya masih sepi karena memang baru buka, "lele aja atau sama bebek?"

"lele aja," aku sibuk makan sedangkan Bara memesankan makanan untuk kami, "cobain deh mas," aku mengangsurkan satu potong martabak telur yang sudah kutusuk dengan garpu.

"ini juga enak," mulut Bara masih penuh ketika aku menyodorkan sepotong tahu kriuk hingga aku menunggunya.

Ketika tahu itu masuk ke dalam mulut Bara, pria itu mengernyit "rasanya kayak tahu biasa," ujarnya, "ihh kan ada gurih-gurihnya tapi nggak gurih banget, enak tahu,"

Bara ternyata lebih suka dengan martabak telurnya, dalam satu porsi aku hanya memakan satu potong sedangkan Bara menghabiskan sisanya.

Bau lele goreng mulai tercium membuatku berhenti memakan cemilan yang aku beli "kenyang?" aku menggeleng "nanti aja lagi takut kenyang duluan sebelum pecel lelenya dateng,"

Pesanan kami akhirnya tiba ternyata Bara memesan bebek goreng, aroma lele goreng begitu menggugah selera membuatku tidak sabar untuk segera mencicipinya.

"masih panas, hati-hati," kupisahkan daging dari tulangnya dengan sendok, uap panas terlihat mengepul ketika bagian dalam daging lele terbuka membawa aroma yang begitu enak.

Sedangkan Bara dengan santai makan dengan tangannya terlihat begitu lahap menyantap santap sorenya, jika seperti ini dia terlihat seperti orang biasa.

"saya ibu Barata Mahawira," suara tante Safira terdengar membuatku mengalihkan tatapan dari Bara ke layar tivi, di sana ada beberapa orang yang aku kenali sebagai pengacaraku dan juga tante Safira sedang melakukan sebuah konferensi pers.

"ada masalah apa mas?" Bara mengendikkan bahunya dan tampak tidak peduli malah sibuk dengan makanannya.

"saya menyatakan semua pemberitaan tentang anak saya dengan rekan kerjanya itu tidak benar, media sudah melakukan pembohongan publik, anak saya sudah punya calon istri dan apa yang diberitakan oleh media membuat calon istri anak saya kecewa, sehingga saya dan keluarga memutuskan untuk membawa masalah ini ke ranah hukum karena sudah menyebabkan kekacauan di keluarga saya,"

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang