Part 28

2.6K 147 0
                                        

Aku sempat bertanya kepada Bara kenapa jika dia yang menatapku dengan tatapan penuh hasrat bahkan menyentuhku aku bisa menerimanya, berbeda sekali ketika om Redi yang menatapku, aku merasa tidak nyaman.

Dan dengan ringannya Bara mengatakan jika itu karena perasaan, mungkin ungkapan cinta itu buta benar adanya, apa lagi hal-hal yang kulakukan dengan Bara sudah melebihi batas, ah sudahlah aku malu ketika harus membahasnya.

Memori ketika aku menjadi saksi korban di persidangan kemarin berputar kembali, aku memasuki ruang sidang dengan tatapan fokus ke meja hakim, aku tidak mau sampai tatapanku beradu dengan tatapan om Redi, aku takut sekali.

Kupikir aku tidak akan sanggup ketika harus memberikan saksi di persidangan apa lagi harus bertemu dengan om Redi.

Mulanya aku masih bisa menjawab pertanyaan hakim ketua seputar informasi pribadiku namun ketika disumpah tangan dan kakiku gemetar, hakim ketua bahkan memberikan aku waktu lima menit untuk menangkan diri sebelum jaksa penuntut umum mengajukan pertanyaan.

Kurapal semua doa yang kubisa di dalam hati sambil mengatur napasku, kufokuskan tatapanku kepada jaksa penuntut umum dan hakim.

Suara tegas jaksa penuntut umum awalnya membuatku tercekat namun aku masih bisa mengatasinya dan aku bisa memberikan keterangan sesuai dengan apa yang kualami.

Setelah keluar dari ruang sidang kupeluk Bara erat-erat, aku tidak peduli dengan banyaknya wartawan yang meliput dan benar saja sepulangnya kami dari pengadilan fotoku yang sedang memeluk Bara menjadi headline media-media online.

"ngelamunin apa?" aku tersentak ketika mendengar suara Bara, dengan mengenakan pakaian kerjanya Bara membawa nampan berisi teh dan puff pastry, "tumben aku nggak dikasih nasi?"

"sarapan spesial hari ini," aku mengulum senyum lalu mengambil sepotong puff pastry dan menggigitnya, ternyata isinya daging dan sayuran.

Kami sarapan berdua tentunya dengan aku yang menyuapi Bara, entah kenapa Bara sekarang suka sekali disuapi, "ihh jangan digigit," aku berseru ketika Bara dengan sengaja menggigit ujung jariku, tidak sakit tapi rasanya aneh.

"mau gigit yang lainnya tapi saya harus berangkat kerja sebentar lagi," kuraup wajahnya dengan tangan kiriku, "mesum, emang yang semalam kurang?" Bara terkekeh lalu menyurukkan kepalanya di leherku dengan cepat dia menjilat leherku dan menghisapnya pelan.

"jangan dibekasin massshh," tangan Bara membuka tiga kancing homedress yang kukenakan lalu menyibaknya kesamping membuat bagian atas dadaku terlihat dengan cepat Bara menurunkan wajahnya lalu mengecup, menjilat dan menghisap bagian atas dadaku.

Aku yakin dadaku yang sudah penuh karena bekasnya semalam kini akan bertambah lagi, semalam aku melarangnya untuk meninggalkan bekas di leher.

Aku jadi tidak bisa memakai pakaian dengan bebas karena harus menutupi hickey yang dibuat Bara.

Dering ponsel tidak membuat Bara berhenti menghisap dadaku bahkan kini pucuk dadaku yang dihisap olehnya, seperti bayi yang menyusu, kuusap kepalanya pelan, "massshh," aku sedikit mendesah karena rasa geli yang kurasakan.

Sepertinya si penelepon tidak menyerah dan suara ponsel itu kian menganggu Bara, akhirnya Bara melepaskan hisapannya lalu berdecak pelan dan merogoh kantong celananya, dengan wajah kesal Bara mengangkat telepon itu bahkan membentak si penelepon.

Wajah Bara semakin memberengut ketika sambungan telepon itu terputus, dengan jahil aku merapatkan diriku ke Bara, merubah posisi tubuhku menjadi duduk di pangkuan Bara, kuhembuskan napasku di tengkuknya lalu tanganku mengusap dada turun ke perut hingga ketika tanganku merambat turun lagi Bara menahan tanganku kemudian menariknya dan mengecup tanganku.

"jangan pancing saya Cha, saya harus berangkat sekarang," aku terkekeh dan memeluk tubuh tegapnya "urusan kita belum selesai," bisiknya lalu mendudukkanku di kasur kemudian Bara berdiri "saya berangkat dulu," Bara kemudian menunduk dan mengecup keningku.

Selepas kepergian Bara kukancingkan kembali bajuku dan melanjutkan sarapanku yang tertunda karena ulah Bara.

Ketika akan mengangkat nampan ponselku berbunyi ternyata mama Safira yang meneleponku, beliau mengabarkan jika tidak bisa ikut ke rumah Om Kalila dan menanyakan apa aku baik-baik saja jika pergi seorang diri kesana.

Aku mengiyakan karena di sana ada Kalila jadi aku tidak merasa sendirian di sana, pagi ini mama terserang flu dan papa tidak memberikan izin mama datang untuk membantu acara tahlilan tujuh harian om Kalila.

Sebenarnya kami kesana karena saudara terdekat yang ada hanya keluarga Kalila sedangkan keluarga yang lainnya bertempat tinggal di luar pulau dan sudah kembali ke daerahnya masing-masing setelah tahlilan hari kedua.

Pukul sembilan pagi aku sampai di sana ternyata di sana juga ada tante Amalia, istri kakak tertua mama, aku sudah pernah mendengar tentang beliau dari Kalila, mulutnya sangat tajam dan selalu merasa anaknya adalah anak yang paling sempurna.

Mau tidak mau aku harus menyalaminya, "oh jadi ini ya calonnya Bara," dari tatapannya saja aku sudah menduga jika beliau tidak suka kepadaku, akupun berbasa-basi sejenaknya dengan beliau karena tidak enak jika langsung pergi tapi jawaban beliau sungguh sinis ketika beliau mulai menceritakan keberhasilan anaknya mama Kalila mulai jengah.

"Ocha tante lupa masukin amplop ke kotak kue," mama Kalila tante Riana memberikan sebuah paperbag berisi puluhan amplop "kotak kuenya ada dilantai dua ya Cha," aku bergegas pergi dari sana agar bisa bebas dari tante Amalia.

Keluarga papa Mahawira yang memang keluarga konglomerat saja tidak ada yang seperti tante Amalia, bahkan beliau dengan jelas menunjukkan ketidak sukaannya kepadaku, semoga nanti ketika aku sudah menikah dengan Bara aku tidak akan sering bertemu dengan beliau.

"Cha," Kalila menyusulku ke lantai dua, sebelumnya dia membantu memasak rendang di dapur, "lo nggak diapa-apa in kan sama si mamalia itu?"

"hush, nggak boleh ngomong begitu, mana ada orangnya di bawah lagi, kalo kedengeran kan nggak enak," Kalila mendengus "bodo amat gue,"

"tapi kayaknya tante Amalia nggak suka deh sama gue, tatapan sama ucapannya sinis terus ke gue," bahuku terkulai lemah mengingat tatapan dan ucapan tante Amalia tadi.

"sakit hati tuh si mamalia, dia kan mau jodohin anak sodaranya sama Bara tapi ditolak mentah-mentah sama Bara, ini orang gila harta Cha, anak dia yang dibangga-bangga in itu yang jadi istri pengusaha kelapa sawit di Palembang sana kan hasil ngerebut laki orang, heran gue sama tuh orang kok nggak malu ya anaknya jadi pelakor?"

Aku melongo mendengar ucapan Kalila, kupikir hanya orang tua istri sirih Azzam saja yang setuju anaknya dijadikan istri kedua, ini malah lebih parah lagi.

"heh siapa yang kamu bilang pelakor? Anak saya bukan pelakor, anak saya itu anak baik-baik" tante Amalia ternyata mendengar ucapan Kalila, rupanya beliau sudah berdiri di ujung tangga.

Kalila mendengus dan menatap tante Amalia tidak suka "halah ibu sama anak sama-sama pelakor aja belagak sok suci"

Sebuah tamparan mendarat dengan mulus di pipi Kalila membuatku terkejut.

"dasar perempuan nggak tahu sopan santun kamu sama teman kamu ini juga sama-sama jual diri kan? Hari gini punya uang banyak dari hasil selebgram sama nulis, omong kosong kalian pasti langganan om-om, apa lagi gadis ini," tante Amalia menunjuk-nunjuk wajahku.

"bukan gadis lagi kayaknya, sukanya tidur sama om-om produser makanya uangnya bisa banyak, kasihan ya Bara dapat bekas om-om," tante Amalia mengucapkannya dengan lantang membuat orang-orang yang ada di bawah naik ke lantai atas.

"anjing mulut lo nggak usah nyablak sembarangan!"

"saya dan anak saya bukan pelakor kalian itu yang PELACUR!,"

Plakkk

Tante Riana menampar tante Amalia "jaga mulut mbak, keluarga kami menerima mbak hanya karena mbak hamil anaknya mas Irawan,"

"berani-berninya kamu nampar saya, kamu nggak tahu ya kalau selebgram sekarang itu suka open BO dan penulis kayak Ocha ini seringnya main sama produser biar dapat kontrak, enak sih tinggal ngangkang udah dapet duit,"

Aku sudah tidak kuat lagi mendengar perkataan tante Amalia, kulangkahkan kakiku pergi dari sana, perkataan tante Amalia sungguh menyakitiku.

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang