"mas nggak jelasin ke tante sama om kalo kita ini nggak ada hubungan apa-apa?" Bara membawaku kembali ke apartemennya kini kami berdua sedang duduk di sofa ruang keluarga.
"jelasin sampai kapanpun mama akan tetap menganggap kamu calon menantunya, semua kriteria mama ada di kamu jadi sampai kapanpun kamu akan tetap dilabeli calon menantu kecuali saya bawa perempuan lain,"
"emang mas beneran belum punya pacar?" Bara menggeleng dan kini sibuk menekuri ponselnya, "besok kamu akan dimintai keterangan oleh pihak kepolisian untuk kasus having sex Redi," napasku mendadak tercekat.
"kalau polisinya kayak kemarin gimana? Aku nggak mau mas," Bara meletakkan ponselnya di atas meja lalu tangannya menggenggam tanganku "saya pastikan kejadian seperti itu tidak akan terulang lagi, saya janji, kamu bisa pegang janji saya,"
Malam harinya perasaan tidak tenang membuatku tidak bisa tidur, dengan mengenakan piyama bercorak floral aku mengetuk pintu kamar Bara, tidak ada jawaban membuatku memutuskan untuk membuka pintu itu memeriksa apakah Bara masih ada di apartemen atau kembali ke kantor.
Kamar itu kosong tetapi ketika aku melangkah masuk terlihat pintu kamar mandi terbuka dan Bara hanya memakai bokser dan juga kaos tanpa lengan sedang berdiri di depan wastafel, dia sedang melepaskan perban yang membalut lukanya.
"bisa nggak mas?" Bara menoleh ketika aku bertanya dari depan pintu kamar mandi, "sini deh Ocha bantuin," Bara mengambil kotak p3k dan keluar dari kamar mandi.
Kami berdua dudukdi tepi ranjang, aku mengamati sebuah luka gores yang memanjang, lukanya seperti sayatan dan memang tidak dalam, "ini mau diperban lagi?"
"nggak, dibersihkan aja, besok pagi baru diperban lagi," pertama aku mensterilkan lukanya lalu memberinya obat merah, aku mengambil kertas kosong yang ada di meja nakas dan mengipasi luka Bara hingga obat merah itu mengering.
"sakit nggak mas?" Bara menggeleng dan tangannya mendahuluiku membereskan kotak obat, dia menaruhnya di atas meja nakas.
"kenapa belum tidur?"
"nggak bisa tidur, takut," cicitku.
"kamu tidur sini, saya temani tapi saya harus selesaikan pekerjaan sebentar," aku naik ke atas ranjang sedangkan Bara duduk di atas sofas ambil memangku laptopnya.
Aroma Bara yang tertinggal di bantalnya membuatku merasa nyaman bahkan rasa kantuk mulai menyapaku "kalau besok aku dituduh pernah having sex sama om Redi gimana?"
Bara mengangkat kepalanya dan menatapku "nggak akan, kamu kerja di bawah Redi baru satu proyek kan?"
"iya, tapi tetap aja gimana kalau aku disudutkan lagi kayak kemarin? Aku nggak sanggup mas," sebelum ini aku memang bekerja dengan mas Rizal, dia masih muda idenya cemerlang hanya saja dia memilih untuk melanjutkan studinya ke Amerika hingga akhirnya aku bekerja bersama om Redi tapi baru sekali saja karena jujur aku risih dengan sentuhan-sentuhan yang dilakukan olehnya.
"nggak, saya jamin itu, nggak ada bukti juga yang mengarah ke arah sana," ucapan Bara menenangkan hatiku sekaligus seperti melodi indah yang mengalun di telingaku hingga membuatku bisa memejamkan mata dengan nyaman.
Sepertinya Bara mematikan lampu dikamar ini tapi tidak menutupgordennya hingga aku bisa melihat city light Jakarta yang indah, jam diatas nakas masih menunjukkan pukul empat, masih terlalu pagi untuk bangun.
Aku menggeliat pelan dan menyadari jika Bara tertidur di atas sofa dengan posisi kaki menekuk rasanya pasti tidak nyaman, perlahan aku turun dari atas ranjang dan membangunkannya.
"kenapa Cha? Mimpi buruk?" tanyanya dengan nada suara serak, kugelengkan kepalaku perlahan "mas pindah ke kasur gih di sini tidurnya nggak enak,".
Bara mengerjap pelan kemudian merubah posisinya menjadi duduk dan akhirnya melangkah menuju ranjang akupun menyusulnya. Baru saja naik ke atas ranjang Bara sudah terlelap lagi sepertinya dia sangat lelah.
Langit sudah cerah ketika aku terbangun kembali, tapi kini aku sendirian di atas ranjang, suara air terdengar samar dari kamar mandi, kusibak selimut dan beranjak untuk bangun, kurapikan ranjang sebelum pergi dari kamar Bara.
Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati tante Safira sedang menata meja makan sedangkan om Mahawira tampak sibuk dengan tabletnya sambil ditemani secangkir kopi "pagi sayang," sapa tante Safira dengan ceria membuatku merasa semakin bersalah.
"tante sama om nggak marah sama aku?" tante Safira tersenyum dan menghampiriku.
"mana mungkin tante marah sama kamu, kamu begini kan gara-gara berita nggak jelas itu, tenang aja om udah beresin semua itu, berita Bara sama si siapa tuh? Pokoknya berita bara sama cewek gak jelas itu udah di take down semua,"
"tapi dia anak mantan gubernur loh tan,"
"halah, mau anak gubernur atau anak menteri mana tante peduli, lagian Bara juga nggak akan naksir sama cewek kegatelan kayak dia, lagaknya aja suka mepet-mepet Bara kayak cantik aja,"
"ma," interupsi om Mahawira "ya kan emang bener dia kegatelan pa," om Mahawira menghela napas lelah dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"sekarang Ocha mandi terus kita sarapan sama-sama,"
Ketika aku kembali ke meja makan Bara sudah ada di sana, dia memakaikaos polo berwarna hitam dan lukanya juga sudah dibalut dengan perban lagi.
"Ocha mau makan apa?" pertanyaan tante Safira membuatku mengamati makanan yang tersaji di atas meja, tapi tidak ada yang menggugah seleraku.
"Cha?" Bara mengusap lenganku membuatku berjengit kaget, sepertinya pikiranku sedang tidak stabil karena akan melakukan pemeriksaan hari ini.
"semuanya akan baik-baik saja, kamu nggak akan sendirian di sana, kamu akan ditemani sama pengacara kamu, jadi saya bisa jamin kamu akan baik-baik saja,"
"Ocha jangan takut, tim pengacara kamu akan hadir semua jadi kalau pertanyaannya menyudutkan kamu jelas akan dibantah sama mereka, kamu nggap perlu takut," tegas tante Safira.
"polisi juga manusia Cha, ngapain kamu takut sama mereka," celetuk om Mahawira sambil meletakkan tabletnya dan mulai menyentuh sarapannya. Ucapan mereka menenangkan hatiku dan membuatku bisa sarapan dengan tenang
Kupikir hanya Bara yang akan menemaniku ke kantor polisi tapi ternyata kedua orangtua Bara juga ikut, selama di perjalanan tante Safira terus menggenggam tanganku dan menyemangatiku.
Setibanya di kantor polisi ternyata tim kuasa hukumku sudah datang dan seperti ucapan tante Safira mereka berlima datang semua, rasa kepercayaan diriku menjadi meningkat.
"saya tunggu di sini, pengacara kamu akan melindungi kamu jadi kamu nggak perlu takut,oke?" Bara menggenggam satu tanganku dan tangannya yang lain mengusap lembut rambutku.
Pada saat memasuki ruang pemeriksaan tanganku terasa dingin, kali ini yang memeriksaku adalah seorang pria paruh baya, dia sangat sopan sekali dan tidak mengintimidasi, membuatku bisa memberikan keterangan dengan nyaman.
Dengan semringah aku keluar dari ruang pemeriksaan dan menghampiri Bara beserta kedua orang tuanya, Bara menyambutku dengan senyuman hangat membuatku merasa berdebar dan tanpa aba-aba langsung memeluknya dia pun balas memelukku.
"saya sudah bilang tidak akan ada yang bisa menyakiti kamu lagi dan tugas kamu adalah percaya dengan saya,"

KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH (The Journey)
ChickLitUmur tiga puluh tahun masih jomlo? Perawan tua dong? Banyak orang-orang yang beranggapan perempuan cantik hidupnya akan selalu mendapat kemudahan dimanapun dia berada, tapi menurutku kecantikan juga bisa membawa petaka, contohnya aku. "jika seseoran...