Part 27

2.6K 149 0
                                        

Aku terbangun dan tidak menemukan Bara yang tadinya tidur di sampingku, langit masih gelap, jam di atas nakas menunjukkan pukul tiga dini hari, kusibak selimut lalu turun dari ranjang untuk mencari Bara.

Ruang keluarga dan area ruang makan kosong maka tujuanku selanjutnya adalah ruang kerja Bara, tanpa mengetuk pintu kubuka pintu di depanku lalu melongokkan kepalaku ke dalamnya, Bara sedang sibuk di depan laptop.

Kubuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk ke dalamnya, Bara menyadari kehadiranku, "kebangun?" kuanggukkan kepalaku pelan setelah mengambil posisi berdiri di samping kursi kerja Bara.

"sini," Bara menarikku agar aku bisa duduk di pangkuannya, "kerjaan saya tinggal sedikit lagi," ucapnya setelah mengecup pelipisku beberapa kali.

Di layar laptop Bara menampilkan sebuah berkas, sekilas tertulis barang bukti narkotika, kupilih untuk memejamkan mata sambil memeluk pinggang Bara dan menyandarkan kepalaku di dadanya.

Aku hampir tertidur tapi karena usapan Bara di lenganku membuatku membuka mata lagi, kulihat layar laptopnya sudah menghitam.

"mas kayaknya makin sibuk, jadi sering giat berhari-hari,"

"saya harus kejar target sebelum resign,"

Kuangkat kepalaku dari dada Bara dan menatap Bara bingung "mas mau berhenti jadi polisi?"

"iya, mama nanti ngomel terus kalau saya nggak bisa penuhi kebutuhan kamu, kamu tahu kan gaji polisi berapa?" Bara menjawil hidungku, "loh aku nggak keberatan dengan gaji mas, aku juga tahu kerjaan mas ini bukan satu-satunya penghasilan mas,"

Bara memiliki beberapa ruko yang disewakan dan juga punya bisnis investasi saham, tahun lalu Bara berhasil membuat sebuah cluster perumahan mini, memang hanya membuat enam rumah tapi Bara bisa meraup keuntungan hampir tujuh puluh juta untuk setiap unit yang sudah terjual, penghasilan usahanya jelas lebih besar dari pada gaji yang ia terima sebagai seorang abdi negara.

Setelah melamarku beberapa hari kemudian Bara memberikan aku dua buku tabungan, satu untuk biaya lamaran sampai pernikahan dan satunya adalah tabungan pribadi Bara, aku bahkan sampai tersedak ketika melihat nominal yang tertera di buku tabungan yang akan digunakan untuk biaya pernikahan.

Satu koma tujuh miliar adalah anggaran Bara untuk pernikahan kami, lalu tabungan pribadi Bara berisi hampir tujuh ratus juta, penghasilan dari penyewaan rukonya saja lebih dari cukup untuk biaya rumah tangga satu bulan belum gajinya sebagai abdi negara.

"tapi mama yang keberatan, lagi pula kalau bukan saya yang meneruskan perusahaan siapa lagi? Kasian papa juga," kutatap wajah Bara lamat-lamat dia tidak nampak berat sama sekali.

"mas nggak ngerasa sayang sama kerjaan mas sebagai polisi? Jadi polisi kan cita-cita mas," Bara terkekeh membuatku menatapnya bingung "saya jadi polisi bukan karena cita-cita,"

"terus?"

"dulu masih males aja mikirin bisnis, apa lagi mama dari saya masih SMA sudah mulai hobi kenalin saya ke anak temannya, jadi ikut akademi militer adalah salah satu cara supaya saya bisa lebih bebas," aku menggelengkan kepala tidak percaya.

"jadi mas lari dari kandang harimau masuk ke kandang singa? begitu?" Bara mengecup bibirku lalu mengulum senyumnya, "akademi militer nggak seseram seperti yang kamu bayangkan Cha,"

"tapi-" Bara kembali mengecupku membuat ucapanku terpotong, "sudah jangan dipikirkan, ayo tidur," Bara mengangkat tubuhku ala bridal style dan membawaku kembali ke kamar.

Keesokan paginya setelah Bara berangkat kerja aku bersiap untuk berbelanja dengan ditemani Dira dan pengawal pria tentunya, tadi pagi saat kami sarapan aku sempat bernegosiasi dengan Bara tapi bukan Barata Mahawira namanya jika mudah ditaklukkan, kalau kata Kalila waktu itu.

"terima aja Cha, itu bukti cinta Bara ke elo,"

supermarket yang kami tuju ada disalah satu pusat perbelanjaan dan terletak di sebelah gedung apartemen Bara, hanya perlu berjalan kaki lima menit.

Disepanjang jalan sesekali aku melihat ke arah langit yang tertutup awan kelabu, menurut prakiraan cuaca, hari ini akan terjadi hujan badai.

Tinggal di Jakarta yang mudah sekali banjir ketika hujan lebat mengguyur dalam waktu lama membuat kenyamanan tinggal di hunian yang eksklusif menjadi lebih terasa, kita tidak perlu takut akan terjebak banjir dan keruwetan yang akan tercipta ketika sudah mulai muncul genangan air.

"loh mereka nggak ikut masuk?" aku mendapati kedua pengawal berhenti di depan supermarket dan menunggu di sana, "sesuai perintah tuan Bara mba," senyuman terbit di wajahku seketika, sepertinya malam ini aku harus memasakkan makanan yang enak untuk Bara.

Kini Dira yang mendorong troli dan aku sibuk memilih daging, karena Bara sudah berbaik hati ini maka kuputuskan untuk memasak rawon dengan isian iga.

"Ocha," kegiatanku memasukkan iga ke dalam kantong plastik terhenti, aku menoleh ke sumber suara dan mendapati Azzam beserta istri sirihnya, kutatap perempuan itu dengan pandangan menilai, tangannya mengusap-usap perutnya.

Azzam bangsat!

Perempuan ini nampaknya sedang hamil, "teman kamu mas?" tanya perempuan itu "Ocha ini saudaranya Naima, Cha kenalkan ini Anggia," kuletakkan kantong berisi iga ke dalam troli lalu menatap kembali perempuan yang sedang mengulurkan tangannya di depanku.

Bisa-bisanya Azzam mengenalkan perempuan ini dengan begitu santai, 'sabar Cha sabar, ini tempat umum,'

"sori gue nggak mau kenalan sama perebut suami orang, ayo Dira," ketika aku akan pergi Azzam mencegahku.

"Naima ada di apartemen kamu kan? Izinkan aku ketemu sama istri aku Cha," aku mendengus ketika Azzam masih menyebut Naima dengan kata istrinya.

"oh iya lo belum tahu ya kalau gue udah pindah? Dan kalo lo nemuin mobil perempuan yang masih lo sebut dengan istri lo mungkin aja dia sewa di sana, tanya sama pihak pengelola apartemen bukan sama gue,"

Azzam hendak meraih tanganku tapi Dira dengan cepat menepisnya dan berdiri di depanku menghalangi Azzam "tolong jaga sikap anda," dua pengawal masuk dan menggantikan posisi Dira, kini Dira kembali memegang troli.

"silahkan dilanjutkan belanjanya mba," aku mendengus, "pulang aja Dir, udah nggak mood,"

Ini masih pagi dan moodku sudah hancur, aku meninggalkan seorang pengawal di supermarket untuk membayar belanjaanku sedangkan aku pulang bersama Dira dan pengawal yang lain.

Sesampainya di apartemen kuhempaskan tubuhku di atas ranjang, masih tidak habis pikir dengan Azzam yang menghamili istri sirihnya atau jangan-jangan ini adalah rencana perempuan itu agar bisa jadi istri Azzam yang sah secara agama dan negara?

Aku segera menghubungi mama dan menceritakan kejadian tadi, mamaku terdengar sangat marah, mama bahkan akan mengumpulkan seluruh keluarga besar untuk membahas masalah ini.

Setelah panggilan teleponku berakhir sebuah chat masuk dari Naima,

"gue mau pisah aja Cha,"

Seharusnya aku mendukung Naima tapi Naima bukanlah satu-satunya korban, ada Arkana juga, dia masih belum mengerti apa-apa, kuputuskan untuk menghubungi Naima.

"coba pikirkan baik-baik Na, ada Arkana,"

"gue tahu Cha, tapi gue nggak sanggup lagi Cha, apa lagi perempuan itu hamil, Azzam pasti akan segera meresmikan hubungan mereka agar anak yang dikandung perempuan itu dapat hak yang sama seperti Arkana,"

"beneran hamil?"

"iya, gue sengaja bikin akun palsu untuk lihat media sosial dia, Azzam nggak sibuk nyari gue Cha tapi dia sibuk ngurusin perempuan itu dan gue lebih memilih untuk menyelamatkan sisa-sisa hati gue sebelum benar-benar lebur Cha,"

"kalau dengan berpisah lo bisa bahagia gue dukung keputusan lo Na,"

Bara tahu ada yang tidak beres denganku lagi pula Dira atau dua pengawal itu pasti sudah memberikan laporan kepadanya, ketika kami selesai makan malam Bara mendudukkanku di tepi ranjang dan dia berlutut di depanku.

"ada apa?" tanya Bara sambil mengusap punggung tanganku, "mas jangan selingkuhin aku ya?" Bara mengulum senyum lalu sebelah tangannya mengusap lembut pipiku "kamu adalah yang pertama dan terakhir itulah janji saya kepada diri saya sendiri,"

ARAH (The Journey)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang