four

301 13 0
                                    

Selamat membaca

HARI demi hari berjalan baik seperti biasa. Hari ini mereka melakukan tugas kelompok untuk mempresentasikan materi didepan kelas dengan powerpoint. Sebelumnya sudah diinfokan untuk membawa laptop setiap satu kelompok.

Trisya, Mona, Yuna, dan beberapa teman lainnya berada didalam satu kelompok yang sama berdasarkan tempat duduk dan pembagian kelompoknya pun sudah dibagikan minggu lalu.

Selama pengerjaan, yang lain saling memberi kontribusi dan saling berpendapat mengenai materi masing-masing sementara Trisya dan Mona malah pura-pura membaca dengan wajah serius dan  bak manusia paling pintar dikelompok tersebut.

Kelompok pun merasa dibohongi dengan tampang mereka yang kelihatan bak berpikir keras, namun ketika ditanya malah kosong.

Pada akhirnya, agar adil Mona disuruh mengetikkan semua materi yang sudah disiapkan sementara Trisya membacakan semua itu untuk memudahkan Mona dalam mengetik ke laptop. Gantian teman-teman yang lain pula bersantai sementara mereka mengerjakan.

Selama dua jam kelas akhirnya berakhir, kelompok mereka pun sudah maju untuk presentasi dengan Yuna sebagai presenter. Perempuan itu sungguh cerdik dan cakap dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kelompok lain yang dianggap cukup menjebak. Trisya tidak bisa membayangkan apabila dia yang menjawab semua itu. Bisa-bisa nilai yang mereka dapatkan bukan F lagi melainkan G.

Waktu istirahat pertama sudah dimulai beberapa detik lalu, Trisya dan Mona pun bersiap-siap untuk pergi ke kantin. Tapi kali ini sedikit heran melihat Yuna yang tiba-tiba menjadi lebih pendiam dibangkunya.

Mereka mengabaikan kejanggalan tersebut karena perempuan itu hari-harinya pun memang begitu, terutama Yuna agak galak hari ini perihal masalah kelompok tadi.

"Eh,"

Trisya dan Mona yang hendak keluar kelas itu akhirnya menghentikkan langkah, menoleh ke belakang secara bersamaan memandang Yuna yang menyeru mereka.

Yuna menatap mereka ragu-ragu. Menggelengkan kepala, mengurungkan niatnya. "Ga jadi."

Mona menyipitkan matanya, merasa skeptis dengan gerak-gerik Yuna. "Lo mau ngomong apa, cepetan bilang aja."

"Dibilangin gapapa. Udah sana lo berdua." Usir Yuna dengan wajah malasnya.

Trisya dan Mona saling berpandangan menerka hal yang serupa sebelum serempak balik memandang Yuna. "Lo pasti lagi dapet kan ya?"

Yuna melirik mereka singkat, gelagatnya kelihatan tidak nyaman, dia juga tidak menyahut. Namun Trisya dan Mona anggap itu sebagai iya.

"Kayanya gue bawa pembalut deh. Mau nggak?" Trisya menawarkan sembari berjalan balik menuju tempat duduknya.

Yuna melirik sekilas, lalu bedeham kecil sebagai bentuk persetujuan. Jujur, dia gengsi sebenarnya.

"Apa?" Trisya mencondongkan tubuhnya, mendekatkan telinganya. " Nggak kedengaran."

"Tck, iyaa." Sahut Yuna dengan rasa kesal yang tertahan. Trisya agak menyebalkan menurutnya. Tapi sepertinya Trisya memang menyebalkan bagi semua orang.

"Sopan kah begitu kids sama malaikat penolongmu." Trisya masih saja bercanda ketika menyambili membuka isi tasnya. "Tapi gue ada syaratnya nih."

Abyss of Love [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang