twenty nine

102 12 0
                                    

VOTE SEBELUM MEMBACA
HAPPY READING


PELAJARAN yang menjadi musuh bebuyutan Trisya telah berlangsung sejak satu jam lalu. Matematika, mendengarnya saja sudah membuat Trisya mual.

Rupanya mereka belajar tentang materi yang baru Lionel ajarkan kemarin kepadanya. Trisya menyimak penjelasan guru, dengan posisi tangan terlipat diatas meja. Sesuatu yang bahkan jarang dia lakukan selama dua belas tahun bersekolah.

Karena masih mengingat rumus-rumusnya dengan sangat baik, Trisya memilih inisiatif maju ke papan tulis ketika diberikan soal.

Inisiatifnya itu tidak hanya mengejutkan Mona yang disebelahnya, melainkan juga hampir teman sekelasnya. Mereka terkejut Trisya yang pemalas ini malah mau maju kedepan, terlebih lagi pelajaran matematika.

Teman sekelas dibuat terperangah lagi kala jawaban yang Trisya tuliskan itu benar seratus persen. Ini adalah sebuah keajaiban.

Trisya balik ke bangkunya dengan wajah penuh rasa bangga sekaligus menyambut tatapan kagum dari teman kelas dengan sombong.

Ternyata begini ya rasanya jadi orang pintar.

***

Trisya tahu ini tidak masuk akal, tapi hanya ini satu-satu harapan untuknya. Sudah sebulan lewat, dia pun sampai mengambil les privat. Tetapi sejauh ini ibarat ribuan kicauan burung berisik, hanya beberapa yang terdengar olehnya. Karena itu pula, guru privatnya sampai menyerah mengajarinya hanya dengan empat kali pertemuan.

Lionel langsung melakukan gerakan seperti sedang membersihkan telinga ketika mendengar Trisya berbicara. "Apa? Ulang lagi. Gue harap gue salah denger."

Trisya menggelengkan kepalanya, menjawab ucapan Lionel. "Lo nggak salah denger. Gue mau lo jadi guru privat gue."

Lionel tercenung memandang gadis dengan senyum polos itu, matanya mengerjab pelan. Jujur, selama hidupnya dia tidak membayangkan akan ada yang memintanya menjadi seorang guru privat ditengah-tengah jadwal sibuknya ini.

Lionel menggaruk telinganya. "Gue pikir lo punya otak lengkap sama isinya. Tapi ternyata otaknya doang, isinya nggak ada."

Trisya berkedip singkat, tapi malah melebarkan senyumnya. "Itu lah kenapa gue butuh lo. Isiin dong."

"Lo ngotak nggak sih?" Laki-laki itu memandang gadis dihadapannya sedikit kesal.

Trisya berkacak pinggang. "Kenapa sih gue disuruh ngotak? Gue kan nggak bulat."

Lionel menarik nafasnya, menghembus dengan perlahan. Mencoba agar lebih bersabar dengan perempuan bertingkah agak spesial itu.

"Begini ya Nyonya Smith terhormat, gue jelasin. Gue ingetin dulu gue ini siapa kalo lo lupa. G—"

"Aktor laris terkenal terganteng tersukses terhebat tersedunia lah pokoknya. Itu gue tau kok." Trisya memotong cepat.

"Good. Jadi, harusnya lo tau dong jadwal gue gimana sibuknya. Sekolah aja kadang cuma setengah hari, kadang hari ini sekolah besok enggak. Jadi tolong ya dipikir lagi pake otaknya."

Lionel melanjutkan. "Kalau pun gue senggang, akan gue pake waktunya buat istirahat daripada buang-buang waktu yang nggak berguna buat gue."

Abyss of Love [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang