ten

300 15 0
                                        

VOTE SEBELUM MEMBACA

Selamat membaca

SEORANG perempuan berkulit putih sebening salju itu berbaring telungkup sembari menompang dagu menatap Mona yang fokus dengan ponselnya.

"Mon, laper."

"Gue juga." Balas perempuan itu tanpa menoleh padanya, matanya sama sekali tidak lepas dari ponsel.

"Tck. Serius dong!"

"Ya, serius." Balas Mona lagi, kini sudah menoleh pada Trisya. "Lagian ini kan rumah lo, lo dong yang suguhin makanan ke gue. Ini malah ngeluh laper ke tamu. Sopan kah begitu kids?"

"Kads kids kads kids. Tua lo emang?" Dengus Trisya. "Lagian tamu apaan modelan lo."

Mona cengengesan. Jika bosan seringkali Mona datang kesini tanpa bilang-bilang, kadang apabila Trisya sedang tidak dirumah, dia akan marah-marah padahal salah sendiri tidak pernah konfirmasi keberadaan Trisya sebelum kerumahnya.

Terkadang rumah ini pun sudah seperti rumah Mona sendiri. Gadis itu lebih tau letak-letak barang dapur dibanding Trisya sendiri karena Mona sering membantu Mami Tessa dibagian dapur sementara mereka berdua tidak pernah mengizinkan Trisya menginjak kaki didapur selama sedang memasak, khawatir gadis itu akan mengacaukan masakan.

Ah ya dan mungkin agak telat untuk menjelaskan, tetapi dia punya darah lokal yang kental. Banyak orang mengira dia memiliki darah luar ketika mendengar namanya, tetapi terheran-heran ketika melihat wajahnya yang asli khas Asia Tenggara pada umumnya.

Marga yang ia sandang pun adalah warisan dari kakek buyutnya asli Eropa, bahkan papi sendiri entah keturunan yang keberapa, ia tidak tahu. Jadi darah Eropa itu menurut Trisya sudah tidak ada lagi padanya.

Sementara mami punya keturunan Tionghoa dan wajahnya pun kelihatan chinese. Sementara Trisya tidak. Dia benar-benar keihatan lokal, terkecuali kulit putihnya yang sangat mencolok. Dia seringkali mendapat komentar kulitnya seperti idol korea saking putihnya itu.

Matanya berukuran sedang dan agak tajam yang apabila diam saja maka akan kelihatan agak jutek. Bulu matanya tebal dan lentik. Hidungnya tinggi dan ramping. Bibir semerah ceri. Seperti semua yang diinginkan perempuan ada padanya. Tidak heran dia jadi secantik itu.

Dia tiba-tiba jadi teringat si aktor songong. Namanya juga terlalu kebarat-baratan untuk seukuran wajahnya yang asia. Walau begitu Trisya mengakui dia adalah definisi sempurna dari yang sempurna. Ah, tidak juga. Sifat sombongnya itu menghancurkan kesempurnaaannya.

"Woy, Celine!" Pekik Mona menyadarkannya dari alam pikirnya.

"Hah, iya kenapa?"

"Nggak papa. Lagian kenapa lo bengong gitu sih." Ujar perempuan itu membuat Trisya jadi memperhatikannya.

Mona ini ajaib. Dia bisa menjadi apa saja. Maksudnya dia bisa berkamuflase sebagau anak baik-baik dengan wajah cute yang mendukung, bisa juga kelihatan naughty dengan dandanan gaul ibu kota yang bikin dia kelihatan lebih badas.

Terkadang Mona juga aneh dan random. Contoh, perempuan itu pernah mengajaknya menyamar sebagai fake nerd sebelum masuk ke Sekolah Garuda dengan harapan dia akan dibully oleh sekelompok siswi berdandan tebal kemudian akan diselamatkan pangeran tampan berkuda putih bak cerita novel. Tentu saja Trisya menghancurkan fantasi liar itu dengan menolak mentah-mentak ajakan sesat tersebut.

Abyss of Love [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang