twenty two

121 13 0
                                    

VOTE SEBELUM MEMBACA
S

elamat membaca


MENURUNI per-anak tangga dengan langkah kecil, menemui  papi seperti apa yang disampaikan Timothy. Ternyata papi hanya menyuruh untuk makan bersama karena pria itu baru pulang dan membawa banyak makanan dari luar.

Keluarga kecil itu menyantap makanan dengan lahap tanpa banyak bicara. Papi yang melihat itu pun menerbitkan senyum.

"Celine nggak keluar hari ini?" Tanya papi kepada putrinya, mencoba untuk mendekatkan diri seperti sedia kala. "Main gitu misalnya."

Trisya mengambil gigitan besar dalam burger sembari melirik papinya tidak acuh, tapi tetap menjawab disela kunyahannya. "Ada. Malem."

"Nggak ada." Timothy menyambar cepat. "Jangan keluar malem lagi. Keluyuran mulu, malem kemaren juga keluar."

Trisya langsung menatap Timothy dengan raut kesal, terlalu kesal sampai tidak mampu melanjutkan kunyahannya.

"Ngapain sih lo ngurus hidup gue mulu, ngurusin hidup lo sendiri aja belum kelar. Pokoknya gue nggak mau diatur-atur!"

"Gini emang kalo dikasih tau. Gue lebih tau dunia diluar sana. Lo itu masih enam belas tahun, tujuh belas aja belom. Masih kecil, jangan ngelampaui batas lah."

Trisya buru-buru menelan makanan didalam mulutnya, ekspresinya masih mencetut masam. "Justru itu gue udah mau tujuh belas tahun, udah mau bikin KTP. Udah dewasa gue. So, nggak perlu deh lo perhatiin gue. Urus aja urusan lo sendiri yang nggak keurus itu."

"Udah, udah. Kenapa jadi berantem. Malu loh udah gede berdua tapi masih kaya anak-anak." Papi menengahi dengan suara lembutnya.

"Dia tuh yang mulai!" Trisya memandang Timothy dengan tajam.

"Nggak usah cari-cari pembelaan. Dewasa itu bisa menerima saran dan masukan dari orang lain, lo dikasih tau aja respon lo begini. Kaya lagi ngomong sama bocil tau nggak. Bocil aja pinter dari lo. Jangan sok keras."

Muka Trisya memerah menahan kemurkaan. Kenapa dia selalu telak jika berbicara dengan Timothy? Seolah laki-laki itu bukan lawan yang tepat untuknya.

Menggebrak meja kesal sebelum melengos pergi darisana. Naik ke kamarnya dengan gemuruh hentakkan langkah yang seolah mau merobohkan bangunan.

Memandang itu, respon papi hanya menghembuskan nafas, memandang putra sulungnya. "Jangan keras-keras begitu sama adikmu. Biarkan saja."

"Ini demi dia sendiri. Papi kok bisa beri dia kebebasan penuh begitu? Aku nggak habis pikir." Timothy berdiri memandang papi dengan alis berkerut, sebelum pergi meninggalkan papi sendiri diruangan itu.

Papi Rean memijit pangkal hidungnya seraya hembusan nafas panjang keluar dari mulutnya. Matanya terpejam dengan dahi berkerut memikirkan tindakan apa yang seharusnya diterapkan secara benar kepada anak-anaknya

***

Trisya mengurung diri dikamar. Dia mengacak-acak rambutnya frustasi, membuat helai-helai rambut panjangnya berantakan.

Timothy memang tidak pernah gagal membuatnya merasa geram. Dia harus terpaksa harus membatalkan janjinya bersama Mona dan teman lainnya.

Ponselnya bergetar singkat. Atensinya langsung terlempar ke satu arah, meraih benda pipih itu untuk melihat pesan yang dikirim barusan.

Ah ternyata Lionel mengiriminya DM lagi. Sebenarnya apa yang sedang laki-laki itu rencanakan.

Khenan Lionel Miller

Abyss of Love [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang