Nyatanya Varsha tertidur lelap hingga esok hari. Hal pertama yang anak itu lihat setelah membuka matanya adalah Vicenzo yang tidur di sofa tamu ruang rawatnya.
Varsha meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari nassal canula dan menghembuskannya kasar hingga sedikit terbatuk,"Kau butuh sesuatu, nak?" sebuah suara dari sampingnya mengagetkan Varsha.
"Ay..Ayah kenapa disini?"
Rajendra tidak langsung menjawab pertanyaan Varsha,
"Apa yang sakit, dadamu sesak? Butuh sesuatu? mau minum?"Varsha menatap lamat Ayahnya, anak itu merasa sudah sadar sepenuhnya, tapi begitu melihat Rajendra duduk di samping brankar ia mencoba mengerjapkan matanya. Masih berpikir jika dirinya sedang bermimpi.
Rajendra tersenyum tipis,
"Jika Arsha mengira ini mimpi, tidak Nak. Ayah benar-benar bersamamu sekarang."Varsha menggeleng pelan, sungguh sulit dipercaya oleh nalarnya. Suara Ayah sangat lembut dan ......hangat.
"Papa..." Varsha justru memanggil Vicenzo yang masih terlelap di sofa.
"Pa...
...Papa..." panggil Varsha lebih kencang.
"Vicenzo pasti kelelahan, sudah jangan dibangunkan. Arsha butuh apa?" tanya Rajendra lembut.
Varsha benar-benar bingung. Otaknya sungguh lambat memproses situasinya sekarang.
Rajendra semakin mengembangkan senyum di wajahnya. Kembar keduanya itu terlihat lucu saat kebingungan.
"Arsha..." panggilnya pelanVarsha menoleh,
"Papa..ah tidak, Ayah..maksudku.. itu..tidak ke kantor?"Rajendra mengusap pelan rambut Varsha. Sang empunya sedikit menarik dirinya menjauh dari usapan tangan Ayahnya. Dada Rajendra berdesir nyeri, Varsha menghindari afeksi tulus darinya. Sebegitu burukkah dia selama ini,
"Ada banyak orang yang bisa menggantikan Ayah di kantor. Tidak masalah.""Tapi kan Ayah sibuk. Bagaimana jika klien Ayah ada yang ingin bertemu, atau meeting! Ayah biasanya meeting kan.. Arsha tidak apa-apa sendiri..ah ada Papa disini.. Ayah kembali saja ke kantor." racau Varsha.
Sungguh, Varsha bingung dengan kehadiran Ayahnya lebih dari 10 menit. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, atau membuka obrolan apa dengan Ayahnya.
"Apa itu sudah menyadarkanmu betapa tidak pentingnya dirimu bagi Arsha?"
Vicenzo masih dengan mata tertutup, berucap datar. Pria itu sudah bangun semenjak Rajendra memanggil nama Varsha. Vicenzo termasuk light sleeper dimana ia akan cepat terbangun saat mendengar suara. Ketika dirasa tidak ada jawaban, direktur rumah sakit tempat Varsha dirawat itu pun meregangkan tubuhnya dan berjalan mendekat pada brankar Varsha.
"Merasa lebih baik, jagoan?" tanyanya lembut sembari mengusap poni Varsha yang terlihat memanjang.
Varsha mengangguk sekilas dan terpejam menikmati usapan tangan Vicenzo di kepalanya.
Rajendra semakin merasa kesal dengan dirinya sendiri. Merasa kecil di depan anak dan sahabatnya itu. Dengan mudah Vicenzo mengambil hati anaknya dan bagaimana Varsha terlihat nyaman menerima afeksi dari Vicenzo membuktikan seberapa dekat mereka.
Berbeda dengannya, bahkan Varsha terlihat gugup saat jemarinya digenggam oleh Rajendra yang notabene adalah Ayahnya sendiri."Jika kau merasa iri dengan apa yang kau lihat. Itu memang sudah seharusnya." ucap Vicenzo setengah mengejek
Rajendra tersenyum miring,
"Akan kubuktikan jika aku pun bisa seperti dirimu."Varsha bingung dengan percakapan kedua pria yang lebih tua darinya itu memutuskan diam dan hanya mendengarkan.
"Arsha, nanti siang jadwalmu untuk ke-