Gangnam Elite High School, Gangnam, Seoul
22 September 2015
Pukul 16.45"Sebenernya gak ada masalah, sih, Pak. Cuman ... anak-anak kadang susah diatur aja, tapi gak sering, kok, kadang-kadang. Selebihnya ... aman," terang seorang gadis berwajah mungil dengan gugup.
Seorang pria paruh baya menopang dagunya sembari merenungkan ucapan siswi di hadapannya. Ada sedikit rasa tidak percaya pada siswi cantik yang memegang jabatan sebagai ketua kelas itu.
"Kamu yakin mereka nurut sama kamu?" tanya Pak Park lagi—memastikan. "Kamu gak perlu nutupin kalau sebenernya mereka gak nurut sama kamu. Jadi ketua itu memang gak gampang, Choi Ji Soo. Terlebih lagi kamu juga baru kali ini jadi ketua kelas, iya kan?"
Lia mengangguk singkat. Mengiyakan spekulasi si guru.
"Nah, itu dia! Kamu boleh banget cerita sama saya tentang kesulitan kamu, biar bapak bantu bicara ke anak-anak lain." Pak Park tersenyum hangat.
"Iya, terima kasih, Pak."
"Bukan apa-apa, Ji Soo. Kamu sudah berusaha, itu yang penting. Kerja bagus untuk hari ini. Tingkatkan juga semangat belajarmu, ya. Nilai kamu sudah cukup tinggi, jangan sampai turun di akhir semester."
Lia tersenyum sumringah mendengarnya. Tidak sia-sia hasil belajarnya selama ini. Lia bukanlah tipikal murid yang memiliki otak seperti sponge yang bisa dengan mudah menyerap pelajaran, malah gadis itu cenderung tertinggal dari teman-temannya. Semangatnya dalam belajar dan berusaha patut diacungi jempol. Itulah yang membuatnya berhasil menduduki ranking atas, bersaing dengan murid-murid unggulan lain di kelasnya seperti Sim Jae Yun atau Jang Won Young.
"Kalau begitu, silakan pulang, Ji Soo. Ini sudah terlalu sore, maaf ya jadi nahan kamu di sini." Pak Park beranjak berdiri sambil merapikan beberapa lembar kertas di mejanya—berbenah sebelum pulang.
"Gak apa-apa, Pak. Terima kasih juga atas bimbingannya. Saya permisi." Lia beranjak meninggalkan ruangan.
Lorong sudah gelap dengan sinar matahari sore mengintip melalui jendela besar di ujung lorong, suasana sunyi senyap dengan hanya suara embusan napasnya yang terdengar, membuat siapapun merasakan suasana hampa yang ganjil di sana. Lia menghela napas panjang, buru-buru pergi ke kelasnya untuk mengambil tas. Suasana sunyi lorong setelah jam sekolah usai selalu mengganjal.
"Tau begitu gue bawa sekalian tasnya," monolog Lia dengan cemas.
Lia menggeser pintu kelasnya yang berbahan kayu. Oh, Lia semakin membenci ini, ruangan kelas benar-benar sepi. Syukur tempat duduknya berada di baris kedua, jadi ia tidak perlu menyusuri ruang kelas kosong itu terlalu dalam.
Lia menyambar tas merah muda miliknya dan buru-buru menggeser pintu kelas—menutupnya. Kemudian gadis berambut hitam lurus itu berlari kecil menuruni tangga.
Sayup-sayup terdengar suara kencang beberapa orang laki-laki. Syukurlah—pikir Lia. Artinya ia tidak benar-benar sendiri di bangunan empat lantai tempatnya menimba ilmu.
Sampai di tangga penghubung lantai dua dengan satu, Lia bisa melihat rombongan laki-laki tengah duduk di sisi kanan dan kiri tangga dengan rokok elektrik di tangan beberapa dari mereka.
Lia menggigit bibir dalamnya, risi harus melewati rombongan laki-laki, terlebih dirinya tidak sedang bersama siapa-siapa. Lia pun mengeluarkan ponselnya dari dalam saku rok dan mulai berpura-pura memainkan benda pipih berlapis case transparan dengan foto polaroid dirinya ketika berlibur ke Jeju.
Ketika sudah dekat, Lia sadar salah satu dari mereka berada di tengah tangga. Takut-takut, ia pun memberanikan diri untuk mengucapkan 'permisi'.
"Lho, masih ada orang, toh?" seru salah seorang pemuda itu panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Die
Fanfic{COMPLETED} "Persahabatan ini tercemar oleh dusta, kebohongan, dan kebusukkan manusia di dalamnya." ‐ Hwang Ye Ji • 'Permainan akan berakhir dalam tiga belas jam.' Bayangan kedua belas remaja untuk bercanda tawa saat reuni harus pupus, ketika malam...