Incheon Medical Center, Incheon
30 September 2014
Pukul 19.55Seorang wanita paruh baya sejak tadi tidak berhenti menggigiti ujung ibu jarinya gelisah, kakinya pun terus mengetuk-ngetuk lantai rumah sakit. Hatinya tidak bisa tenang semenjak ia menemukan Han Ji Sung, putra tunggalnya, tergeletak tak sadarkan diri di kamarnya siang tadi.
Tidak ada ide mengapa anaknya bisa sampai bertindak sejauh itu. Entah apa yang mendorong Ji Sung yang selalu ceria untuk mengakhiri hidupnya. Sang ibu tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri, bagaimana bisa seorang ibu tidak tahu apa yang tengah menimpa putranya dan bisa-bisanya ia tidak sadar dengan apa yang tengah disembunyikan oleh putranya selama ini.
"Gimana keadaan Ji Sung?" Suami dari wanita itu baru sampai, wajahnya pun tidak kalah panik dari sang istri.
Si istri tidak bisa menjawab, wanita itu hanya bisa menangis menyalahkan diri.
"Aku salah, ini semua salahku, seharusnya aku tau apa yang dialamin anak kita. Maaf, Sayang, aku minta maaf," tangisnya kencang.
Tuan Han, selaku kepala keluarga sama kalutnya, tetapi ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan sisi rapuhnya. Ia harus tetap tegar di hadapan wanita yang telah menjadi bagian dari hidupnya 20 tahun belakangan ini.
Tuan Han menarik Nyonya Han ke dalam pelukan. Pria berusia 40-an akhir itu mendongak menghadap langit-langit rumah sakit, menahan air matanya supaya tidak jatuh. Ia mengelus punggung sang istri.
"Udah-udah, ini bukan waktunya kamu salahin diri sendiri, aku juga salah, seharusnya aku juga peka semenjak dia sering pura-pura sakit sebelum sekolah."
"Permisi, wali dari pasien Han Ji Sung?" Seorang dokter baru saja keluar dari salah satu ruang IGD.
Tuan Han melepas pelukan dari tubuh Nyonya Han. Air mukanya berubah menjadi sangat serius.
"Pasien Han Ji Sung baru saja siuman, kondisinya masih kurang stabil untuk saat ini, jadi pasien masih harus dirawat inap selama kurang lebih dua malam," jelas dokter, "wali sudah boleh menemui pasien, hanya saja jangan membuatnya terlalu tertekan atau terlalu banyak mengajaknya bicara."
"Terima kasih, Dokter, untuk kerja kerasnya." Tuan Han tersenyum simpul sebagai bentuk formalitas.
"Beruntung kami masih memiliki persediaan darah untuk golongan darah yang dimiliki pasien. Itu juga menjadi salah satu faktor paling membantu, selain istri anda yang sigap membawa pasien ke sini. Telat beberapa menit saja, pasien bisa benar-benar tidak selamat."
Nyonya Han bahkan tidak bisa tersenyum mendengar apresiasi dokter.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bapak, Ibu." Dokter berjalan melewati pasangan suami-istri itu.
Nyonya Han buru-buru masuk ke dalam menemui Ji Sung.
Ji Sung masih sangat lemah, tatapan sayu memandang kosong ke arah kedua orang tuanya. Kedua maniknya bergetar, air mata memenuhi pelupuk matanya.
"Ma ...." Ji Sung berbisik lirih.
"Maafin mama, Sung, mama gak tau apa-apa soal kamu, mama gak tau apa yang udah kamu alamin selama ini." Tangis Nyonya Han kembali pecah.
Ji Sung termenung melihat tangis ibunya, ia tidak lagi punya alasan untuk membantah ucapan ibunya. Kenyataannya dia benar-benar lelah dengan segala hal yang menimpa hidupnya.
"Sung, kenapa kamu gak pernah cerita ke mama atau papa soal ini?" Tuan Han menarik napas berat, menatap Ji Sung yang begitu lemah dengan perban melilit kedua pergelangan tangan kurusnya.
"Kim Hong Joong yang buat kamu jadi begini, kan?" terka Tuan Han. Tuduhan Tuan Han bukan tanpa dasar, tetapi ia tahu betul asall sifat Hong Joong yang semena-mena. Desas-desus anak itu tidak lagi sebatas sekolah, tetapi sudah sampai telinga para pejabat negara. Sudah banyak kasus-kasus pelanggaran dilakukan oleh Hong Joong, paling banyak kasus pelanggaran lalu lintas. Beruntung ayahnya memiliki posisi yang kuat, sehingga bocah itu bebas berlaku sesuka hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Die
Fanfic{COMPLETED} "Persahabatan ini tercemar oleh dusta, kebohongan, dan kebusukkan manusia di dalamnya." ‐ Hwang Ye Ji • 'Permainan akan berakhir dalam tiga belas jam.' Bayangan kedua belas remaja untuk bercanda tawa saat reuni harus pupus, ketika malam...