《 chapter 30: happy death day 》

65 11 0
                                    

Rumah Keluarga Han
28 September 2014
Pukul 19.30

Suara dentingan alat makan beradu terdengar memenuhi ruang makan megah dan mewah kediaman keluarga Han. Namun, kemegahan itu tiada artinya ketika hanya keheningan yang singgah menemani makan malam sang nyonya dengan putra tunggalnya.

Ji Sung fokus dengan makan malam yang tersaji di hadapannya, begitu juga dengan Nyonya Han.

"Ji Sung, gimana sekolahmu? Sudah mulai banyak ujian?" Nyonya Han mencoba membuka pembicaraan dengan putranya—berusaha memecah keheningan.

Ji Sung mengangguk pelan. "Iya, Ma. Sekolahku ... begitu-begitu aja, ga ada yang spesial," ujarnya dengan mulut terisi penuh.

Nyonya Han mengangguk pelan, tatapannya terpaku pada hidangan makan malamnya. "Oh ya, ngomong-ngomong, kamu sudah lama sekali gak bawa temen main ke rumah."

Pergerakkan tangan dan mulut Ji Sung berhenti. Topik yang paling dihindari malah muncul ke permukaan.

Ji Sung tertawa gugup dan menjawab, "O-oh ... itu, mereka semua sibuk les sekarang, aku juga, makanya aku gak pernah undang mereka ke rumah lagi," alibi Ji Sung.

"Begitu? Padahal mama kangen liat kamu pulang sekolah selalu bawa temen." Nyonya Han agak memajukan bibirnya yang berpoleskan lipstik mahal.

Ji Sung buru-buru menghabiskan makan malam sebelum Nyonya Han bertanya lebih lanjut tentang kehidupan sekolahnya atau kehidupannya secara garis besar.

Tanpa menunggu Nyonya Han menghabiskan makan, Ji Sung melesat ke dapur menaruh piring-piring kotor. "Terima kasih makan malamnya."

"Lho, buru-buru banget?" Nyonya Han keheranan melihat putra semata wayangnya tergesa. Tidak biasa-biasanya Ji Sung begitu terburu-buru dalam hal makan.

Ji Sung menghentikan langkahnya, tubuhnya sedikit berbalik pada sang ibu. "Iya, aku harus belajar, hari ini banyak banget materi baru. Aku takut ketinggalan." Lagi-lagi Ji Sung berbohong.

"Astaga ... anak mama jadi rajin banget sejak kelas 9, rasanya dulu kerjaan kamu setiap hari main-main doang." Nyonya Han tersenyum lebar. "Kalo mama cerita ke papa, pasti papa juga ikut seneng, anaknya semakin dewasa."

Ji Sung tertawa renyah menanggapi pujian ibunya. Ia lantas menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.

Sampai di kamar, Ji Sung berdiam diri di balik pintu. Tatapannya kosong menghadap lantai marmer tempat kedua kakinya menapak. Matanya mulai terasa panas akibat air mata yang mulai berkumpul.

Jika di mata sang ibu 'sejak kapan dirinya menjadi begitu rajin?' Maka itu tidak berlaku bagi Han Ji Sung sendiri, sebab melalui kedua matanya, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya 'sejak kapan dirinya menjadi begitu lemah?'

Kerjaan Ji Sung setiap hari hanya menangis, belajar, dan makan. Bangun pagi, nangis. Berangkat sekolah, nangis. Sampai rumah, nangis. Belajar, nangis. Anak TK pun kalah dengan Ji Sung jika frekuensi menangis mereka diadu.

Isakan halus melesat dari kedua belah bibir Ji Sung. Tubuhnya perlahan merosot hingga kini ia terduduk di lantai kamarnya yang dingin.

"Gue ... cape ...," lirih Ji Sung di sela-sela isak tangisnya.

Tiga tahun belakangan ini Ji Sung memikul beban yang begitu berat. Semua dikarenakan satu nama, Kim Hong Joong. Kemalangan demi kemalangan yang Ji Sung alami, semua dikarenakan satu orang pembuat onar.

Ji Sung tenggelam dalam tangisnya, ia mati-matian menahan teriakan yang berkali-kali siap melesat keluar. Ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir hanya karena urusan sekolahnya. Baginya lebih baik ia pikul semua sendiri ketimbang harus membuat kedua orang tuanya khawatir dan sedih. Tiga tahun bukan waktu yang lama, kan? Setidaknya itu pikir Ji Sung dua tahun yang lalu. Bahkan penderitaannya baru genap dua tahun, artinya ia masih harus menunggu beberapa bulan lagi hingga hari kelulusan tiba.

Truth or Die Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang