BAB 37

11.1K 755 7
                                    

“ASTAGFIRULLAH!” Saking kagetnya, Lintang sampai mengucapkan istigfar dengan suara keras.

Sementara itu, sang pelaku malah memasang wajah datar tanpa ekspresi. Ajeng seperti orang yang tidak bersalah, padahal sudah membuat orang lain kaget setengah mati.

“Lo sengaja ya buat gue kaget biar gue kena serangan jantung?!?” Tuduh Lintang setelah beberapa saat kemudian. Laki-laki itu menatap Ajeng dengan mata memicing.

Sebelah alis Ajeng terangkat mendengar tuduhan tak beralasan itu. Sengaja katanya? “Kalau iya, kenapa?” Sahutnya sembari melipat kedua tangannya didepan dada.

“Lo,... hah, sudah lah.” Lintang menghela nafas kasar. Ia tidak ingin menentang Ajeng. Salah sedikit, bisa-bisa dirinya langsung didorong dari rooftop, dan berakhir menjadi mayat dibawah sana.

“Ngapain lo disini? Lo Ajeng, kan?” Lintang memindai penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Meneliti secara seksama, apakah yang berdiri didepannya benar Ajeng, atau hanya makhluk halus yang sedang menyamar.

Lintang berpikir demikian karna menurutnya, tidam orang yang bisa berpindah tempat hanya dalam waktu sepersekian detik saja. Jika lari pun, kenapa tidak terdengar suara kakinya?

Atau jangan-jangan, Ajeng itu anaknya Sue Storm si super hero anggota Fantastic Four?

Tapi dengan cepat Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, setelah sadar akan pemikiran tidak masuk akalnya.

“Lo yang ngapain di sini?” Bukanya menjawab, Ajeng malah balik bertanya.

“Kamu naenya?” Balas Lintang dengan ekspresi tengilnya. Hal itu membuat Ajeng menatapnya dengan tatapan membunuh.

Melihat tatapan yang dilayangkan gadis itu padanya, Lintang menyengir sembari mengangkat tangan kananya, dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V, “Hehehe, jangan marah. Gue Cuma bercanda.”

Ajeng tak menanggapi perkataan laki-laki itu, ia malah kembali bertanya hal yang sama, “Lo ngapain di sini?”

Lintang terlihat gelagapan. Seandainya Ajeng hanya gadis biasa, ia pasti akan berbohong dan mengatakan- ia hanya sekedar bersantai disini. Tapi gadis didepannya ini serba tahu semuanya. Jadi ia tidak mungkin berbohong.

“Lagi denger orang nangis.” Lintang memilih menjawab jujur.

Apa katanya, denger orang nangis? Ckckc, sialan! Ajeng kecolongan.

“Siapa yang nangis?” Tanya Ajeng dengan sebelah alis terangkat.

“Lo lah.”

“Gue?” Ajeng menunjuk dirinya sendiri, dan dijawab oleh Lintang dengan anggukan pelan.

“Lah, gue baru dateng,” Kata Ajeng, membuat laki-laki itu menatapnya dengan tatapan tak percaya, “Jangan bohong!”

“Gue nggak bohong!”

Lintang berdecak. Jelas-jelas suara tangisan itu berasal dari Ajeng, karna ia sudah sangat menghafal suara gadis itu, “Lo nggak usah bohong.”

“Apa gue kelihatan bohong?” Ajeng menatap Lintang dengan tatapan tajamnya.

Helaan nafas kasar terdengar keluar dari mulut Lintang. Ia membalas tatapan Ajeng tak kalah tajamnya. Jika gadis itu bisa menatapnya dengan tatapan setajam itu, kenapa ia tidak?

“Gue tahu, lo bohong, Ajeng.” Katanya masih tak percaya.

“Apa gue terlihat seperti orang yang habis menangis?” Balas Ajeng.

Lintang meneliti wajah gadis itu secara seksama, dimulai dari mata dan pipi. Dan benar saja, Lintang tidak menemukan tanda-tanda jika gadis itu habis menangis. Tak ada mata merah, mata sembab, hidung merah, dan juga tak ada sisa air mata di pipi putihnya.

AJENG (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang