“Sebentar lagi.”
Suara itu terdengar keluar dari mulut seorang gadis yang saat ini tengah berada di warung pinggir jalan. Gadis itu duduk di kursi paling depan berhadapan langsung dengan jalan raya. Gadis itu- Ajeng Pramesti.
Tatapan matanya sejak tadi tak pernah teralihkan dari arah gerbang sekolah yang letaknya berada di seberang jalan.
Ajeng tengah menunggu kemunculan seseorang. Bukan Lintang, melainkan si mantan teman yang tak tahu terima kasih. Sesuai dengan janjinya kemarin, ia akan memberikan sebuah hadiah spesial yang tidak akan pernah perempuan itu lupakan seumur hidupnya.
Mengingat hal itu, Ajeng lagi-lagi tersenyum manis. Ia sudah tidak sabar. Orang yang sudah membuatnya kesal memang harus diberikan hadiah spesial.
“Kakak nggak capek duduk terus?”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun, yang saat ini tengah berdiri disamping meja tempat Ajeng duduk.
Ajeng mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap anak perempuan itu dengan wajah datarnya. “Nggak.” Jawab Ajeng singkat.
“Pantatnya beneran nggak sakit?” Tanya bocil itu lagi.
“Nggak.”
Bocil perempuan itu anak si pemilik warung. Bukan kali pertama ini saja bocil itu mendekati Ajeng, melainkan sudah yang kesekian kalinya. Melayangkan pertanyaan yang sama, dan Ajeng pun selalu menjawabnya dengan jawaban yang sama. Ajeng juga selalu memasang wajah datar dan dingin ketika menatap bocil itu.
Bukannya takut ketika melihat tatapan Ajeng, si bocil malah tersenyum lebar hingga menampilkan giginya yang beberapa biji sudah hilang.
Jujur saja, Ajeng sama sekali tidak risih ataupun kesal pada anak itu. Ia hanya tidak tahu cara menghadapi seorang anak kecil. Sejak kecil, ia tidak pernah memiliki seorang teman, pun tidak ada yang mau berteman dengannya. Berlanjut hingga ia remaja, para bocil kebanyakan tidak ada yang mau berdekatan dengannya. Semuanya lari menjauh karna takut padanya.
Terhitung, selama tujuh belas tahun ia hidup di dunia, hanya beberapa bocil manusia yang pernah mendekat dan mengajaknya berbicara.
Itulah sebabnya Ajeng tidak tahu harus menjawab atau berekspresi seperti apa ketika berhadapan dengan anak kecil. Jadi maklum jika ia masih kaku seperti sekarang.
“Masa nggak sakit? Padahal kakak duduk sini sudah lama,” Tanya anak itu lagi.
“Nggak.”
“Kok bisa?”
“Dibisain.” Jawab Ajeng asal.
Anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya sok mengerti.
Ya, Ajeng duduk ditempat itu sudah hampir delapan jam. Dimulai dari jam delapan hingga sekarang hampir jam dua siang. Ajeng hanya beranjak ketika ingin buang air kecil saja.
Bosan? Jawabannya adalah tidak.
Ajeng tidak hanya numpang duduk saja, melainkan ia juga membeli hampir semua jenis makanan yang dijual oleh ibu si pemilik warung. Gorengan, mie, camilan, batagor, dan lain-lain. Semuanya Ajeng habiskan sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
AJENG (COMPLETED)
Mystery / Thriller"Kalau pun gue yang ngebunuh cewek sialan itu, gue nggak bakalan ngelakuin secara diam-diam. Gue bakalan bunuh dia didepan lo semua. Gue bukan pecundang yang beraninya main belakang!" Ajeng menunjuk semua orang yang ada disana. "Seperti kalau gue ma...